SuaraBanten.id - Di sebuah sudut di Kampung Sindangsono, Desa Sindangsari, Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, berdiri sebuah gubuk reyot yang jauh dari kata layak huni bekas budidaya jamur (Gubuk Jamur).
Ini bukanlah sekadar rumah sederhana, melainkan gubuk jamur yang kini menjadi satu-satunya tempat bernaung bagi Ridwan (41), istrinya Irna Novita (22), dan kedua anak mereka yang masih kecil.
Selama tiga tahun terakhir, mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan, dihantui dinginnya malam, atap yang bocor, dan ketakutan akan binatang berbisa.
Kisah keluarga ini adalah potret nyata dari perjuangan melawan kemiskinan ekstrem. Keputusan untuk tinggal di gubuk tersebut adalah sebuah keterpaksaan setelah tidak lagi bisa menumpang di rumah kerabat yang sudah terlalu sesak.
Baca Juga:Proyek Rehab Rumah Dinas Bupati Lebak Senilai Rp2 Miliar Disorot, Akademisi: Haruskah Sekarang?
“Saya tinggal di saung bekas pembuatan jamur ini sudah tiga tahun. Sebelumnya tinggal di rumah saudara, tapi karena di sana terlalu banyak orang jadi kami pindah ke sini,” kata Irna kepada awak media, Rabu 23 Juli 2025.
Bagi Irna, setiap hari adalah pertaruhan. Gubuk yang mereka tinggali tidak memiliki dinding yang rapat, lantainya masih berupa tanah, dan atapnya penuh lubang.
Setiap kali hujan turun, seisi gubuk akan basah. Namun, ketakutan terbesarnya datang saat malam tiba.
“Sedih tinggal di sini. Kalau hujan atapnya bocor, kadang ada ular juga. Dingin sekali kalau malam, pokoknya tidak nyaman,” ujarnya, menggambarkan kengerian yang harus ia hadapi bersama anak-anaknya.
Perjuangan ini harus mereka jalani karena penghasilan sang suami, Ridwan, yang bekerja sebagai buruh serabutan di kebun milik orang lain, tidak pernah cukup untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak. Upah harian yang diterima seringkali hanya cukup untuk makan hari itu saja.
Baca Juga:Truk Tanah Mogok di Rangkasbitung Berujung Maut, Pemotor 23 Tahun Tewas di Tempat
“Suami saya kerja di kebun punya orang, penghasilan sehari cuma dapat Rp30 ribu atau Rp40 ribu sehari,” imbuhnya.
Yang lebih memilukan dari kondisi fisik tempat tinggal mereka adalah fakta bahwa keluarga ini seolah "tidak terlihat" oleh jaring pengaman sosial pemerintah.
Irna mengaku, selama tiga tahun hidup dalam kemiskinan ekstrem, tidak pernah sekalipun ada bantuan yang sampai ke gubuknya, baik itu Program Keluarga Harapan (PKH) maupun Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
“Dari pemerintah saya tidak pernah dapat apa-apa, beras atau bantuan apa pun juga tidak pernah,” keluhnya.
Kini, dengan segala keterbatasan dan penderitaan yang mereka alami, harapan Irna tidak lagi muluk-muluk.
Ia hanya menginginkan sebuah tempat yang aman dan layak untuk membesarkan anak-anaknya, sebuah harapan yang ia titipkan kepada pemerintah daerah maupun provinsi.
“Mohon kepada pemerintah agar bisa memberikan bantuan rumah yang layak ditempati oleh keluarga,” ucapnya.