SuaraBanten.id - Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) akhirnya memberikan pengakuan pahit terkait masalah banjir kronis di sekitar Kali Angke.
Setelah proyek yang berjalan sejak 2011, ia menyatakan bahwa pembangunan tanggul Kali Angke yang dibuat untuk penahan banjir masih jauh dari kata selesai dan belum sempurna.
Dengan sisa 7 kilometer tanggul yang belum terbangun, konstruksi yang terputus-putus, serta penyempitan sungai yang parah, upaya pengendalian banjir di wilayah Ciledug dan sekitarnya menjadi tidak efektif setiap kali luapan besar datang.
Setelah melakukan penyusuran sungai bersama Gubernur Banten Andra Soni serta Wali Kota Tangerang, Sachrudin dan Wali Kota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie, Kepala BBWSCC, David Oloan Marpaung, secara terbuka mengungkap kondisi sebenarnya dari proyek tanggul Kali Angke.
Baca Juga:Tiga Kepala Daerah Susuri Kali Angke 10 KM, Andra Soni Temukan Biang Banjir
Proyek vital yang diharapkan menjadi solusi banjir ini ternyata masih belum rampung sepenuhnya. Dari total rencana pembangunan sepanjang 26 kilometer, realisasinya baru sepanjang 19 kilometer.
“Namun yang terbangun sampai dengan saat ini baru 19 kilometer masih ada 7 kilometer yang masih belum terbangun,” kata David pasca susur Kali Angke dikutip dari Bantennews, Jumat 25 Juli 2025.
Angka ini mengonfirmasi mengapa banjir masih menjadi momok menakutkan bagi warga.
Kata David, dari 19 kilometer yang sudah ada pun, konstruksinya tidak menyambung alias terputus-putus akibat kendala pembebasan lahan di masa lalu.
Kondisi inilah yang membuat tanggul tidak berfungsi optimal.
Baca Juga:Cek Kesehatan Ratusan Ribu Siswa SD dan SMP di Tangerang, Penderita Gangguan Akan Ditindaklanjuti
“Sehingga memang tidak sempurna dalam pengendalian banjir ketika banjir besar datang, dari adanya yang tangguh yang belum terbangun,” ungkapnya.
Penyempitan Parah dan Nasib Bendungan Tua
Masalah ternyata tidak hanya berhenti pada tanggul yang 'bolong'. Hasil susur sungai dari Jembatan Fortune hingga Bendungan Polor membeberkan fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan.
Fakta tersebut soal penyempitan dan pendangkalan sungai yang signifikan. Aliran sungai yang seharusnya lebar, di beberapa titik menyusut drastis, menghambat laju air.
“Mungkin sungainya harusnya 30 meter menjadi sempit, ada yang 10 meter, dan sebagainya. Sehingga itu menjadi temukan kami,” jelas David.
Selain itu, keberadaan Bendungan Polor yang selama ini diduga menjadi salah satu pemicu banjir kini juga masuk dalam evaluasi.
David mengakui fungsi bendungan yang dibangun untuk keperluan pertanian di masa lalu itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.
Pihaknya akan melakukan kajian lebih lanjut untuk menentukan nasib bendungan tersebut.
“Mungkin dulu bendungan ini dibangun untuk pertanian, saat ini kita belum tahu juga seperti fungsinya,” terangnya.
Menyadari kompleksitas masalah yang membentang dari hulu di Bogor hingga hilir di Jakarta, David menegaskan bahwa solusi tunggal tidak akan cukup.
Kali Angke yang memiliki panjang 101 kilometer dan melintasi banyak kota/kabupaten memerlukan penanganan terintegrasi.
“Jadi secara struktur yang kami akan kolaborasikan dengan pemerintah Provinsi dan pemerintah daerah kita akan bekerja sama mana yang kami laksanakan mana yang pak Gubernur laksanakan bersama jajarannya di Kota Tangerang maupun dengan Tangerang Selatan,” sambungnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa semua upaya struktural ini akan sia-sia tanpa kesadaran kolektif dari masyarakat.
Perilaku membuang sampah sembarangan menjadi faktor krusial yang terus memperparah sedimentasi dan penyumbatan.
“Secara struktur kita lebarkan sungai kita dalam kan sungai namun itu belum tidak bisa menyelesaikan masalah, kalau di hulunya ada sampah di hilirnya juga ada sampah,” kata David, menggarisbawahi bahwa kolaborasi antara pemerintah dan warganya adalah kunci utama.