Cerita Tiga Perempuan Banten Melawan Kanker dan Kerasnya Hidup

Cerita tiga perempuan pengidap kankar berjuang di rumah singgah melawan penyakit dan kerinduan terhadap keluarga.

Hairul Alwan
Selasa, 05 Agustus 2025 | 09:37 WIB
Cerita Tiga Perempuan Banten Melawan Kanker dan Kerasnya Hidup
Sebanyak tiga orang perempuan berjuang melawan kangker di rumah singgah di Tangerang, Banten. [IST/Bantennews]

SuaraBanten.id - Jauh dari kampung halaman di pelosok Serang dan Pandeglang, di sebuah rumah sederhana di sudut Kota Tangerang, pertempuran melawan kangker dan kerasnya hidup sedang berlangsung setiap hari. Ini bukanlah pertempuran biasa. 

Di sini, tiga perempuan tangguh asal Banten tidak hanya bertarung melawan sel-sel kanker ganas yang menggerogoti tubuh mereka, tetapi juga melawan musuh tak kasat mata lainnya seperti, kemiskinan, kesendirian, dan kerinduan yang mendalam pada keluarga.

Rumah singgah dewasa milik Yayasan Respon Cepat Badan Darurat Kemanusiaan (RC BADAK) di Jalan Bahagia, Kelurahan Sukaasih, telah menjadi lebih dari sekadar tempat berteduh para pengidap kangker.

Ia adalah benteng pertahanan, ruang harapan, dan saksi bisu dari perjuangan hidup dan mati para penyintas kanker yang datang dari berbagai daerah di Banten.

Baca Juga:Catatan Empat Fraksi DPRD Kabupaten Tangerang Soal DOB Tangerang Utara dan Tengah

Di rumah inilah, kisah-kisah perjuangan itu bertemu dan saling menguatkan. Salah satunya adalah kisah Suparti, warga Mekar Jaya, Pandeglang, yang divonis kanker payudara dan harus bolak-balik ke RS Kanker Dharmais, Jakarta. 

Baginya, pertarungan melawan kanker adalah pertarungan melawan ekonomi keluarga yang morat-marit. Suaminya yang tidak bekerja membuatnya sangat bergantung pada belas kasihan orang lain, bahkan hanya untuk ongkos ke rumah sakit.

“Kadang-kadang dari warga saya dikasih ongkos,” ungkapnya dengan nada terbata-bata, Senin 4 Agustus 2025.

Beban itu sedikit terangkat sejak ia didampingi oleh RC Badak. Namun, ada harga lain yang harus ia bayar, meninggalkan anak dan suaminya di kampung halaman setiap kali jadwal kemoterapi tiba. 

Ini adalah pertempuran batin yang tak kalah beratnya. “Kadang kita harus ninggalin anak, saya sedihnya di situ,” ucapnya lirih.

Baca Juga:Perjuangan Saqila Lawan Kanker, Bantuan Mengalir Usai Ditemukan Relawan

Kisah yang lebih memilukan datang dari Juhariah (37), seorang ibu tunggal dari Pulosari, Pandeglang. Ia harus berjuang seorang diri menafkahi kedua anaknya setelah bercerai. 

Saat benjolan kecil muncul di payudaranya, ia terpaksa mengabaikannya. Tuntutan untuk bekerja dan menghidupi anak-anaknya jauh lebih mendesak daripada rasa sakit yang ia rasakan.

“Dulunya memang saya gak di rumah kerja, ada penyakit itu didiemin. Karena ada anak dua yang harus dinafkahi, setelah itu ada benjolan kecil setelah itu dibawa ke Pandeglang,” ujarnya.

Pilihan sulit antara kesehatan diri dan perut anak adalah pertarungan yang harus ia hadapi, sebuah dilema yang dialami banyak perempuan pejuang lainnya.

Di antara mereka, ada sosok Sukriah (60), pejuang paling senior dari Padarincang, Serang. Di usianya yang tak lagi muda, ia telah bertarung melawan kanker payudara selama dua tahun. 

Kelelahan fisik tentu ia rasakan, namun semangatnya untuk sembuh tak pernah padam. Baginya, rumah sakit dan rumah singgah adalah sumber energi baru.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak