SuaraBanten.id - Di atas aliran Sungai Leuwi Panjang, Kecamatan Maja, sebuah jembatan bambu reyot berdiri bukan hanya sebagai penghubung dua desa, tetapi juga sebagai monumen bisu yang menyuarakan dua hal kontras: ketangguhan luar biasa warganya dan kelalaian pemerintah yang terasa begitu nyata.
Selama bertahun-tahun, warga Desa Binong dan Sindang Mulya telah menjadi arsitek, donatur, sekaligus korban dari jalur vital yang mereka bangun sendiri. Jembatan ini adalah urat nadi kehidupan mereka, namun juga pertaruhan nyawa setiap hari.
Kisah tentang jembatan yang telah tiga kali roboh dan tiga kali pula dibangun kembali melalui dana swadaya ini menjadi sebuah tamparan keras, sebelum akhirnya "aspirasi" mereka didengar langsung oleh orang nomor satu di Banten.
Setiap hari, pemandangan anak-anak sekolah yang melintasi jembatan dengan langkah penuh perhitungan menjadi rutinitas yang menyesakkan.
Baca Juga:Penambang Batubara di Lebak Tewas, Bahaya Tambang Ilegal Disorot
Mereka tahu betul bilah bambu mana yang sudah lapuk dan mana yang masih bisa dipercaya untuk menopang langkah kecil mereka menuju ilmu. Risiko itu berlipat ganda saat musim hujan tiba.
“Kalau hujan deras, enggak ada yang berani lewat. Licin, dan rawan hanyut,” ujar Saprol, seorang warga Desa Sindang Mulya, pada Kamis, 31 Juli 2025.
Pernyataannya bukan sekadar keluhan, melainkan potret ketakutan kolektif yang menghantui setiap kali langit mendung.
Siklus roboh, hanyut, dan membangun kembali dengan bergotong royong telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Di tengah kondisi tersebut, secercah harapan datang saat Gubernur Banten, Andra Soni, bersama rombongan termasuk Ketua TP PKK Banten Tinawati Andra Soni dan Kepala Dinas PUPR Arlan Marzan, menjejakkan kaki di lokasi.
Baca Juga:Kemenag Lebak Bakal Bongkar Akar Masalah Duel Gladiator Siswa MAN vs SMKN 1 Kalanganyar
Kunjungan ini seolah menjadi pengakuan resmi atas masalah yang selama ini hanya menjadi pergulatan internal warga. “Tadi dalam perjalanan, ada aspirasi masyarakat yang disampaikan soal jembatan,” kata Andra kepada wartawan, seolah baru menemukan sebuah fakta lapangan yang sudah mendarah daging bagi warga setempat.
Namun, alih-alih memberikan janji konkret yang melegakan, respons yang diberikan masih berada dalam koridor birokrasi yang hati-hati. Gubernur menyatakan akan melakukan kajian dan koordinasi lebih lanjut, sebuah frasa yang bisa berarti harapan atau justru penundaan.
“Kami akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Lebak. Setiap aspirasi masyarakat akan kita kaji sesuai kebutuhannya,” ujarnya.
Pernyataan senada datang dari Kepala DPUPR Banten, Arlan Marzan, yang menegaskan perlunya studi teknis sebelum tindakan diambil.
“Kami akan lihat apakah dari Pemkab Lebak sudah punya desain atau rencana terkait konstruksinya,” katanya.
Bagi warga yang terbiasa bertindak cepat dengan sumber daya seadanya setiap kali jembatan mereka lenyap ditelan banjir, kata-kata seperti "koordinasi" dan "kajian" terasa begitu berjarak dari urgensi yang mereka hadapi.