“Alhamdulillah, sejak itu banyak yang bantu. Puskesmas antar jemput pakai mobil, susu dibantu juga,” ujar Iim dengan mata berkaca-kaca.
Pernyataan ini, meski penuh syukur, secara tidak langsung menggambarkan sebuah pola, bantuan masif dari negara baru terasa setelah ada pemicu dari pihak eksternal.
Kini, perjuangan Saqila masih panjang. Ia telah menjalani empat dari delapan siklus kemoterapi yang direncanakan.
Namun, pertarungan lain kini dihadapi sang ayah, Sanari, yang terpaksa berhenti berjualan ketupat sayur demi fokus mendampingi putrinya.
Baca Juga:Ibu Hamil di Cibodas Tidur Pakai Masker Tiga Lapis, Akibat Pembakaran Sampah Ilegal di Cibodas
“Kadang bingung juga. Saya nggak kerja sejak lebaran. Kalau saya kerja, istri saya nggak mungkin bisa ngurus sendiri di rumah sakit,” keluhnya lirih.
Kisah Saqila menjadi sebuah refleksi mendalam. Di satu sisi, ia menunjukkan kekuatan luar biasa dari komunitas dan gotong royong.
Namun di sisi lain, ia membuka pertanyaan besar tentang kesiapan sistem jaminan kesehatan dan birokrasi pemerintah dalam menjangkau dan melindungi warganya yang paling rentan, sebelum mereka tersesat dan harus berjuang sendirian.