Aam Wijaya, seorang fotographer 'Blackhouse Library' mendirikan beberapa posko dan dapur umum untuk membantu korban bencana.
Bersama belasan mahasiswa relawan, ia bolak balik menerobos hutan dan longsor dengan sepeda motornya untuk mengantar bantuan hampir setiap hari.
Hanya seminggu sekali dia pulang ke Jakarta untuk bertemu keluarganya, sekaligus mengambil bantuan kemanusiaan yang digalang Nuryl Sibly, istrinya.
Ada pula komunitas lain, yakni 'RCI Peduli' yang harus berbagi fokus, tidak hanya menyalurkan bantuan kepada korban di kabupaten Lebak, tapi juga korban banjir di Jakarta dan sekitarnya.
Baca Juga:Wakil Bupati Lebak Bela Penambang Emas Ilegal soal Banjir Bandang
"Kami berusaha menggalang bantuan apa saja, dari mana saja. Hampir tiap hari kami men-share permintaan bantuan di sosial media masing-masing," ujar Vera Adoe dari RCI Peduli.
Tidak berani berharap
Badan Meteorolgi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi puncak musim hujan akan berlangsung hingga awal Maret, yang artinya sejumlah lokasi masih berpotensi mengalami bencana.
Nurhedi, Epfa dan Sarki, serta ratusan warga kampung Cigobang sendiri menyatakan masih tidak ingin kembali ke kampungnya.
Bukan hanya karena banjir dan longsor yang mengancam, mereka juga masih trauma, serta rasa duka dari kehilangan orang yang mereka kenal, bahkan mereka cintai.
Baca Juga:Korban Banjir Lebak Bangun Sendiri Jembatan Darurat, ke Mana Pemerintahnya?
"Saya tidak tahu lagi, nanti saya mau apa dan bagaimana, semuanya sudah hilang, rumah, kebun, istri dan anak juga hilang," kata Nurhedi.
"Terserah apa kata pemerintah, apakah akan dibantu ... bikin rumah dan tanah buat ladang atau tidak, kita semuanya hanya bisa pasrah," ujarnya sambil menahan tangis.
"Untuk berharap pun kami juga tidak berani," kata Sarki, mertua Nurhedi.
----
Tulisan ini dibuat oleh Dicky Martias yang bekerja di bagian 'Business Development' ABC Indonesia di kantor perwakilan Jakarta dan salah satu relawan RCI Peduli.