Hairul Alwan
Minggu, 03 Agustus 2025 | 10:35 WIB
Imroatun Solihah mendekap buah hatinya Saqila Maulidya asal Keronjo, Kabupaten Tangerang yang menderita kanker mata. [Saepulloh/bantennews]

SuaraBanten.id - Perjuangan Saqila Maulidya (4) melawan kanker mata ganas tidak hanya menjadi cerita tentang ketabahan seorang anak. Lebih dari itu, kisahnya adalah sebuah cermin pahit tentang bagaimana warga kecil bisa tersesat di dalam labirin birokrasi kesehatan, hingga akhirnya menemukan secercah harapan bukan dari sistem yang mapan, melainkan dari tangan-tangan relawan yang hadir.

Putri dari pasangan Sanari (27) dan Imroatun Solehah (24) warga Kampung Pagenjahan, Desa Pagenjahan, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten ini awalnya harus menghadapi tembok tinggi saat vonis dugaan tumor pertama kali dijatuhkan sebelum mengetahui putrinya mengidap kangker

Ketakutan, kebingungan, dan yang paling krusial, ketiadaan dokumen administrasi seperti Kartu Keluarga dan BPJS, membuat langkah mereka untuk mencari pengobatan terhenti bahkan sebelum benar-benar dimulai.

“Saya nggak percaya, seumur hidup belum pernah ngalamin begini,” kenang Iim, ibunda Saqila, saat mengingat momen pertama kali mendengar diagnosis dokter.

Pukulan itu terasa semakin berat karena tanpa BPJS, pintu rumah sakit rujukan terasa begitu jauh. 

Mereka baru bisa mengurus semua administrasi dua bulan setelah diagnosis awal, sebuah jeda waktu yang sangat berharga dalam pertarungan melawan kanker. 

Setelah akhirnya mendapat rujukan berjenjang dari Puskesmas Kronjo hingga RSCM Jakarta, vonis kanker itu pun resmi diberikan.

Namun, birokrasi dan ketidaktahuan membuat mereka kembali gamang. Penjelasan dokter mengenai proses operasi yang rumit justru menenggelamkan mereka dalam ketakutan yang lebih dalam.

“Kita orang awam, nggak ngerti peraturan rumah sakit. Jadi sempat berhenti,” tutur Iim, mengakui keputusasaan mereka saat itu.

Baca Juga: Ibu Hamil di Cibodas Tidur Pakai Masker Tiga Lapis, Akibat Pembakaran Sampah Ilegal di Cibodas

Saat mereka berhenti, kanker terus berjalan. Kondisi Saqila memburuk drastis, matanya membesar, dan tangis kesakitan tak lagi bisa ditahan. 

Di titik terendah inilah, Sanari dan Iim memutuskan untuk berjuang sendiri. Mereka menyewa mobil pribadi, menghabiskan tabungan, bahkan memilih untuk tidak melapor ke aparat desa karena merasa bisa menanggung beban itu berdua.

Harapan baru datang bukan dari program pemerintah yang proaktif, melainkan dari informasi mulut ke mulut yang sampai ke telinga para relawan Yayasan RC Badak. 

Yayasan inilah yang kemudian menjemput Saqila dan keluarganya, memberikan mereka tempat bernaung di rumah singgah kanker, hanya beberapa ratus meter dari Kantor Pemkab Tangerang.

Setelah kisah Saqila mulai terangkat berkat peran para relawan, barulah perhatian dari pemerintah mulai berdatangan. 

Pemerintah desa hingga Bupati Tangerang, Moch. Maesyal Rasyid, turun tangan memberikan bantuan.

Load More