Hairul Alwan
Minggu, 03 Agustus 2025 | 10:35 WIB
Imroatun Solihah mendekap buah hatinya Saqila Maulidya asal Keronjo, Kabupaten Tangerang yang menderita kanker mata. [Saepulloh/bantennews]

“Alhamdulillah, sejak itu banyak yang bantu. Puskesmas antar jemput pakai mobil, susu dibantu juga,” ujar Iim dengan mata berkaca-kaca.

Pernyataan ini, meski penuh syukur, secara tidak langsung menggambarkan sebuah pola, bantuan masif dari negara baru terasa setelah ada pemicu dari pihak eksternal.

Kini, perjuangan Saqila masih panjang. Ia telah menjalani empat dari delapan siklus kemoterapi yang direncanakan.

Namun, pertarungan lain kini dihadapi sang ayah, Sanari, yang terpaksa berhenti berjualan ketupat sayur demi fokus mendampingi putrinya.

“Kadang bingung juga. Saya nggak kerja sejak lebaran. Kalau saya kerja, istri saya nggak mungkin bisa ngurus sendiri di rumah sakit,” keluhnya lirih.

Kisah Saqila menjadi sebuah refleksi mendalam. Di satu sisi, ia menunjukkan kekuatan luar biasa dari komunitas dan gotong royong. 

Namun di sisi lain, ia membuka pertanyaan besar tentang kesiapan sistem jaminan kesehatan dan birokrasi pemerintah dalam menjangkau dan melindungi warganya yang paling rentan, sebelum mereka tersesat dan harus berjuang sendirian.

Load More