-
Armani, guru di SDN Sorongan II Pandeglang, telah mengabdi 17 tahun di tengah keterbatasan ekstrem, menjadi satu-satunya harapan pendidikan bagi anak-anak desa.
-
Akses menuju sekolah sangat sulit; Armani harus berjalan kaki 3 km dan menyeberangi dua sungai tanpa jembatan memadai, membuat kegiatan belajar terhenti saat banjir.
-
Fasilitas sekolah sangat memprihatinkan: mengajar 23 siswa di satu ruangan rusak tanpa keramik, atap bocor, dan bahkan tidak memiliki fasilitas toilet sejak berdiri.
SuaraBanten.id - Di saat kita sering mengeluhkan koneksi internet yang lambat atau AC ruang kelas yang kurang dingin, nun jauh di pelosok Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, ada realitas pendidikan yang menampar hati nurani.
Sosok itu adalah Armani, seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk mengajar di tengah keterbatasan infrastruktur yang ekstrem.
Kisah Armani bukan tentang mengejar sertifikasi atau gaji besar, melainkan tentang panggilan jiwa. Ia adalah satu-satunya harapan bagi anak-anak di Kampung Batu Payung agar bisa mengenal huruf dan angka.
Bertahan selama belasan tahun di SDN Sorongan II Kelas Jauh, Armani menjadi saksi bisu betapa pendidikan di pinggiran masih membutuhkan uluran tangan serius dari pemerintah.
Baca Juga:Tiga Ancaman Serius BMKG Hari Ini: Panas Membakar, Petir Menyambar, hingga Banjir Mengintai
"Saya mengajar di kelas jauh SDN Sorongan II sejak tahun 2008. Sekarang tahun 2025, berarti hampir 17 tahunan saya mengajar di sini," kata Armani saat ditemui di Pandeglang, Sabtu (22/11/2025).
Perjuangan Armani menuju sekolah bukanlah perjalanan komuter biasa. Setiap harinya, ia harus menempuh rute yang menguji fisik dan mental.
Kendaraan bermotor tak bisa menyentuh halaman sekolah karena akses yang mustahil dilalui roda dua sekalipun. Ia terpaksa memarkir kendaraannya di tempat penitipan, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer.
Tantangan alam menjadi menu sarapan Armani setiap pagi. Ia harus menyeberangi dua sungai untuk sampai ke kelas. Ironisnya, satu sungai hanya memiliki jembatan bambu reot hasil swadaya warga yang bergoyang setiap kali dipijak. Lebih parah lagi, satu sungai lainnya tidak memiliki jembatan sama sekali.
Armani harus menyingsingkan celana dan menyeberang arus sungai secara langsung.
Baca Juga:Viral! Sudah SMP Siswa Ini Nyerah pada Soal Perkalian Dasar, Indikasi Kualitas Belajar Anjlok?
Situasi berubah menjadi mimpi buruk ketika musim hujan tiba. Saat hujan deras mengguyur wilayah Pandeglang, debit air sungai akan meluap.
"Saat hujan deras mengguyur Pandeglang dan air sungai meluap, kegiatan belajar terpaksa diliburkan karena akses terputus total," ungkapnya.
Setibanya di sekolah, Armani tidak disambut oleh gedung megah. Ia mengajar 23 siswa yang terdiri dari kelas 1 hingga kelas 6 SD. Mirisnya, proses belajar mengajar untuk semua tingkatan kelas tersebut dilakukan dalam satu ruangan kelas yang kondisinya sangat memprihatinkan.
Fasilitas yang ada jauh dari kata layak. Lantai keramik di ruang tersebut 85 persen telah terlepas, menyisakan tanah dan semen kasar. Atap sekolah bocor di berbagai titik, membuat suasana kelas becek saat hujan.
Bahkan, sejak sekolah ini berdiri, tidak pernah ada fasilitas sanitasi atau toilet. Guru dan siswa harus mencari semak-semak atau menumpang ke rumah warga jika ingin buang air.
"Motivasi saya bertahan, karena melihat kondisi lingkungan. Kalau tidak ada sekolah jauh ini, anak-anak di sini tidak akan bersekolah," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. [Antara].