Harus Ada Pengawasan
Karena itu Fajri mendesaj Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjalankan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap ketiga Gubernur yaitu Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta dalam hal upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.
"Untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing," tutur dia.
Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi kata Fajri tidak lagi perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta. Seharusnya, lanjut dia, mereka dengan cepat menyusun langkah-langkah pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat bersama.
Baca Juga:Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia, Wagub DKI: Masalah Polusi Masih jadi PR Kami
"Baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat. Kedua sumber pencemar udara sama-sama perlu diperketat," ungkap Fajri.
Sementara itu Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Sirait memaparkan data BMKG mencatatkan konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya mengalami lonjakan dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran (Jakarta) kata Jeanny menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini, konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³(mikrogram per meter kubik) yang cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi hari.
Ia menyebut sampai saat ini pemerintah pusat dan daerah terkesan lepas tangan dengan permasalahan polusi dalam beberapa hari ini dan hanya menyalahkan cuaca. Padahal September tahun lalu, 32 warga Jakarta bersama Koalisi IBUKOTA telah dimenangkan dalam gugatan warga negara atas polusi udara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih.
"Hal ini sangat memprihatinkan. Kemenangan warga belum mutlak tercapai karena porses banding dari pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan," papar dia.