Sejarah dan Asal Usul Serpong, Dulu Tempat Perang, Kini Jadi Kawasan Elit

Sejarah Serpong menarik untuk dikektahui. Karena kini Serpong menjadi kota mandiri pusat hujian elit.

Pebriansyah Ariefana
Jum'at, 21 Mei 2021 | 15:36 WIB
Sejarah dan Asal Usul Serpong, Dulu Tempat Perang, Kini Jadi Kawasan Elit
Kota mandiri BSD City yang dibangun Sinar Mas Land di Tangerang Selatan, Banten. [Suara.com/Adhitya Himawan]

SuaraBanten.id - Sejarah Serpong dan asal usul Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Serpong adalah salah satu kawasan satelit Kota Jakarta yang kini jadi kawasan elit. Serpong jadi kawasan pemukiman para kaum berduit, namun dulunya adalah tempat para pejuang Kemerdekaan bertempur dengan Belanda.

Serpong adalah sebuah kecamatan di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

Sebelum Kota Tangerang Selatan menjadi kota otonom, Serpong merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Tangerang. Di kota ini Serpong terdapat Kecamatan Serpong dan Serpong Utama.

Kecamatan ini memiliki sembilan kelurahan, diantaranya Buaran, Ciater Cilenggang, Lengkong Gudang, Lengkong Gudang Timur, Lengkong Wetan, Rawa Buntu, Rawa Mekar Jaya, Serpong dan Lengkong Wetan.

Baca Juga:Warga Banten Boyong 4 Anak dan 2 Keponakan Aksi Bela Palestina ke Jakarta

Berdasarkan informasi yang di himpun dulunya kebun karet yang tidak produktif. Di kecamatan ini terletak kota terencana ternama yang bernama Bumi Serpong Damai atau seringkali disingkat dengan BSD yang merupakan salah satu perintis perumahan di Serpong.

Sejak dibangunnya kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD), nama Serpong mulai kesohor seantero negeri.

Kawasan Serpong (Kemendikbud)
Kawasan Serpong (Kemendikbud)

Sebab, tiba-tiba daerah yang semula agak terpencil dari Jakarta tersebut kini menjelma menjadi daerah elite. Kini di Serpong banyak bangunan megah berjejer, mal dan pusat bisnis, sehingga geliat ekonomi di kawasan ini begitu pesat.

Jauh sebelum menjadi kawasan elit, dulunya, Serpong merupakan bagian dalam sejarah perang untuk memperebutkan atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Rumah ini menjadi markas besar dan persenjataan Jepang yang dipimpin oleh Kapten Abe dan berada dibawah pengawasan Belanda ketika menguasai Bogor.

Sebuah peristiwa berdarah yang merenggut nyawa beberapa perwira dan taruna Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada tahun 1946.

Baca Juga:Bapak yang Hajar Anaknya Ditangkap Polisi, Korban Lemas dan Ketakutan

Saat itu, tersiar kabar bahwa Belanda yang di Bogor akan menguasai Parung kemudian Lengkong atau yang disebut dengan pertempuran Lengkong.

Pertempuran Lengkong adalah pertempuran Tentara Keamanan Rakyat melawan pasukan Jepang di Desa Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Indonesia yang terjadi pada 1946.

Peristiwa berdarah ini bermula dari Resimen IV TRI di Tangerang, Resimen ini mengelola Akademi Militer Tangerang. Tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot memimpin puluhan taruna akademi untuk mendatangi markas Jepang di Desa Lengkong untuk melucuti senjata pasukan jepang.

Daan Mogot didampingi sejumlah perwira, antara lain Mayor Wibowo, Letnan Soetopo, dan Letnan Soebianto Djojohadikusumo. Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer, mereka berangkat ke Lengkong. Di depan pintu gerbang markas, tentara Jepang menghentikan mereka.

Kawasan Serpong (Kemendikbud)
Kawasan Serpong (Kemendikbud)

Hanya tiga orang, yakni Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan seorang taruna Akademi Militer Tangerang, yang diizinkan masuk untuk mengadakan pembicaraan dengan pimpinan Dai-Nippon. Sedangkan Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo ditunjuk untuk memimpin para taruna yang menungggu di luar.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) RI yang ditulis oleh Balai Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Banten menyebutkan, peristiwa Lengkong terjadi pada tanggal 25 Januari 1946.

Saat itu pasukan TKR bersama serdadu India berseragam tentara Inggris menggunakan truk menuju Lengkong dipimpin oleh Mayor Daan Mogot. Tujuannya untuk operasi pelucutan senjata Jepang. Sekitar pukul 14.00 pasukan berangkat dan tiba pada sekitar pukul 16.00.

Menjelang sampai ditujuan, tidak jauh dari gerbang kamp Jepang, kendaraan diberhentikan. Pasukan TKR menemukan sejumlah pasukan Jepang yang bertugas jaga.Tanpa kesulitan, senjata Jepang tanpa kesulitan dilucuti oleh TKR. Tampaknya pasukan Jepang sudah terpengaruh oleh penampilan TKR yang mengikutsertakan serdadu Inggris berkebangsaan India.

Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, Taruna Alex Sajoeti, dan serdadu Inggris – India menuju sebuah bangunan yang dijadikan markas Jepang. Mereka menemui komandan pasukan Jepang, Kapten Abe.

Di dalam markas, saat berhadapan dengan Kapten Abe, Mayor Daan Mogot mengutarakan maksud kedatangan pasukan TKR, dengan menjelaskan bahwa ini operasi gabungan dengan tentara sekutu. Kapten Abe belum bersedia memenuhi tuntutan pelucutan senjata dan meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta.

Dalam waktu yang sama, Letnan satu (Lettu) Soebianto dan Lettu Soetopo yang berada di luar tanpa menunggu hasil dari perundingan, sudah menyuruh para Taruna untuk menyebar dan melucuti senjata tentara Jepang.

Dalam waktu yang cepat, sejumlah senjata telah dapat dikumpulkan di tempat pengumpulan senjata di lapangan beserta sejumlah tentara Jepang yang sudah dilucuti berkumpul di lapangan dekat tumpukan senjata itu.

Tiba-tiba terdengar suara letusan, tidak diketahui dari mana tembakan itu dilepaskan. Kemudian tampak seorang tentara Jepang lari keluar dari bangunan markas yang dipakai perundingan, sambil berteriak menyerukan sesuatu kepada kawan-kawannya yang berdiri di lapangan dan berujung pada terjadinya pertempuran tak seimbang.

Pertempuran itu berakhir ketika hari mulai gelap. Terdengan teriakan dalam bahasa Indonesia beraksen Jepang, untuk menghentikan tembakan dan perintah untuk berkumpul. Semua yang masih hidup, termasuk yang luka-luka, mulai dikumpulkan di bangunan markas.

Keesokan harinya, hari sabtu tanggal 26 Januari 1946, para tawanan yang masih kuat diberikan sekop untuk menggali kuburan, ternyata mereka hanya disuruh menguburkan kawan-kawannya yang tewas.

Secara pasti belum diketahui beberapa mayat yang ditemukan dan dikuburkan mereka waktu itu.

Namum secara umum dapat dikatakan, bahwa anggota TKR yang gugur akibat pertempuran ini sebanyak 36 orang, terdiri dari 33 dan 3 Perwira. Ketiga Perwira itu adalah Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Lettu Soetopo.

Peristiwa Lengkong atau Palagan Lengkong menyisakan saksi yang masih dapat dilihat hingga saat ini, yaitu bangunan yang diduga sebagai tempat markas atau penjagaan.Sumber lainnya mengatakan diduga sebagai gudang penyimpanan senjata pasukan Jepang.


Untuk mengenang Peristiwa Lengkong tersebut ada dua tempat bersejarah yang pertama adalah Taman Makam Pahlawan (TMP) taruna yang bertempat di Jl. Daan Mogot (JL. Raya Jakarta-Serang) KM 24,5 dan yang kedua adalah monumen Lengkong yang berada di wilayah Serpong.

Monumen yang dibangun berdampingan dengan Taman Daan Mogot itu berdiri tahun 1993 di atas lahan seluas 500 meter persegi.

Pada dinding prasasti monumen terukir nama-nama taruna dan perwira yang gugur pada peristiwa pertempuran Lengkong. Sedangkan di dalam museumnya, terpampang foto-foto perjuangan para taruna militer di Indonesia berserta akademinya.

Kontributor : Saepulloh

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini