Andi Ahmad S
Selasa, 16 September 2025 | 19:31 WIB
Revisi Perbup Jam Operasional Truk Tambang Atasi Penumpukan [Dok Dishub]
Baca 10 detik
  • Kurangnya Koordinasi Antar-Wilayah Menjadi Akar Masalah
  • Pelanggaran Aturan Menciptakan Dampak Buruk yang Luas
  • Warga Mengambil Tindakan Karena Merasa Penegak Hukum Abai
[batas-kesimpulan]

SuaraBanten.id - Sebuah peraturan daerah seharusnya menjadi pedoman yang ditaati, sebuah hukum yang ditegakkan. Namun di perbatasan Tangerang-Bogor, Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 12 Tahun 2022 seolah tak lebih dari sekadar macan kertas—tampak garang di atas dokumen, namun ompong di lapangan.

Puncaknya terjadi pada Selasa kemarin. Gerah karena aturan yang tak kunjung ditegakkan, puluhan warga dan pemuda di Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, akhirnya turun gunung.

Mereka melakukan aksi nekat menghadang paksa barisan truk tambang raksasa yang melenggang santai di Jalan Raya Legok-Parungpanjang di siang bolong, sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap jam operasional.

Aksi ini, menurut tokoh pemuda setempat, Tama, adalah akumulasi dari kekecewaan yang sudah tak terbendung.

"Aksi ini dilakukan secara spontanitas, karena kita sudah resah atas aktivitas kendaraan tambang di luar jam operasional. Mereka sudah melanggar aturan daerah," tegas Tama.

Perbup Tangerang Nomor 12 Tahun 2022 sebenarnya dibuat dengan tujuan mulia menjaga keselamatan dan kenyamanan warga. Aturan di dalamnya sangat jelas.

Jam Operasional Truk Barang

Hanya boleh melintas pada malam hari, tepatnya mulai pukul 22.00 WIB hingga 05.00 WIB.

Tujuan

Baca Juga: Kesabaran Warga Habis: Puluhan Truk Tambang Monster Dihadang Paksa di Perbatasan Tangerang-Bogor

Mencegah kemacetan parah, mengurangi risiko kecelakaan fatal, meminimalisir polusi udara, dan menjaga keawetan infrastruktur jalan.

Namun, realitas di lapangan adalah sebuah ironi. Truk-truk bertonase berat itu seolah memiliki kekebalan hukum, menjadikan aturan tersebut hanya tulisan mati.

Masalah utamanya, menurut warga, terletak pada lemahnya koordinasi dan penegakan hukum di wilayah perbatasan, khususnya dari arah Kabupaten Bogor.

Truk-truk ini mayoritas berasal dari lokasi tambang di Bogor dan memasuki Tangerang tanpa ada filter yang efektif.

"Tetapi dari Kabupaten Bogor di siang hari truk sumbu tiga ini diperbolehkan melintas. Jadi kami elemen masyarakat membantu pemda menertibkan truk-truk yang masuk wilayah Tangerang," jelas Tama.

Pernyataan ini menyorot sebuah "lubang hitam" dalam penegakan aturan. Aturan ketat di Tangerang menjadi sia-sia ketika tidak ada komitmen serupa dari wilayah tetangga.

Bahkan, dalam pantauan di lokasi, massa sempat meluapkan amarah kepada petugas Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bogor yang terkesan melakukan pembiaran.

Pemandangan warga sipil yang memutarbalikkan paksa truk-truk raksasa adalah tamparan keras, sebuah potret nyata ketika aparat yang seharusnya bertugas justru absen.

Ketika sebuah aturan hanya menjadi pajangan, wargalah yang harus membayar harganya. Dan harganya tidak murah.

"Kerugian masyarakat banyak, karena kalau dihitung dampak aktivitas kendaraan ini kerap kali menimbulkan korban jiwa bahkan polusi dari kendaraan itu," ungkap Tama, dilansir dari Antara.

Setiap hari, warga harus bertaruh nyawa di jalanan yang sama dengan monster-monster jalanan ini. Setiap hari pula, mereka harus menghirup debu pekat yang mengancam kesehatan pernapasan.

Ini adalah konsekuensi langsung dari kegagalan sistemik untuk membuat sebuah peraturan benar-benar berwibawa.

Warga menegaskan, aksi mereka akan terus berlanjut sampai ada tindakan nyata. Mereka tidak lagi percaya pada janji, mereka butuh bukti.

"Makanya kita minta tolong untuk petugas bertindak tegas. Tegaskan peraturan dan tertibkan jangan begitu saja," pungkasnya.

Load More