Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 19:30 WIB
Warga Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten menjadi korban gigitan ular berbisa jenis ular tanah dan menyebabkan tangan korban menghitam. [ANTARA/HO-Sahabat Relawan Indonesia]

SuaraBanten.id - Musim membuka ladang yang seharusnya menjadi penanda kehidupan baru bagi Suku Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, justru berujung tragedi.

Sepanjang Januari hingga pertengahan Agustus 2025, sebanyak tujuh warga Badui Dalam dan Badui Luar dilaporkan meninggal dunia setelah menjadi korban keganasan ular tanah (Calloselasma rhodostoma).

Kematian beruntun ini bukanlah takdir, melainkan cerminan dari rapuhnya sistem penanganan medis darurat di wilayah tersebut.

Sahabat Relawan Indonesia (SRI), organisasi yang aktif mendampingi masyarakat Baduy, mencatat total 49 kasus gigitan ular terjadi dalam periode yang sama.

Kematian para korban, menurut SRI, disebabkan oleh dua faktor krusial: keterlambatan penanganan dan kelangkaan Serum Anti Bisa Ular (ABU) di fasilitas kesehatan terdekat.

"Semua warga Suku Badui yang meninggal akibat gigitan ular berbisa itu, karena keterlambatan dilarikan ke rumah sakit," kata Koordinator SRI Muhammad Arif Kirdiat di Lebak, Banten, Sabtu (16/8/2025).

Kasus terbaru yang merenggut nyawa terjadi hanya dalam sepekan terakhir, menimpa Jambu (20) dan Sarman (33).

Peristiwa tragis ini terjadi seiring dimulainya kalender adat masyarakat Baduy untuk membuka lahan pertanian baru.

Prosesi yang melibatkan pembabatan pohon dan semak belukar ini secara langsung meningkatkan risiko pertemuan antara warga dengan ular berbisa yang bersarang di rerumputan.

Baca Juga: Ini Modus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Banten

Arif menjelaskan, warga Baduy yang mayoritas menggantungkan hidup pada sistem pertanian ladang di perbukitan menjadi sangat rentan.

"Warga Badui berpotensi menjadi korban gigitan ular berbisa yang berlindung di rerumputan maupun semak-semak belukar," ujarnya, seraya mengingatkan potensi bahaya semakin tinggi mengingat curah hujan yang masih terjadi.

Langkanya Serum dan Problem Akses

Penyebab utama kematian para korban menyoroti masalah serius dalam sistem kesehatan. Menurut data SRI, kelangkaan serum ABU di puskesmas-puskesmas sekitar permukiman Baduy menjadi kendala fatal.

Ditambah lagi dengan sulitnya medan dan keterlambatan informasi, membawa korban ke rumah sakit dengan cepat menjadi sebuah tantangan besar yang seringkali berakhir dengan hilangnya nyawa.

"Penyebab kematian itu karena langkanya serum Anti Bisa Ular (ABU ) di semua puskesmas setempat sekitar Badui juga keterlambatan informasi untuk di bawa ke rumah sakit menjadi kendala utama," ungkap Arif.

Sebagai respons atas kekosongan peran fasilitas kesehatan primer, SRI mendirikan tiga pos klinik untuk memberikan pertolongan pertama.

"Kami mengimbau warga Badui jika ada yang menjadi korban gigitan ular berbisa agar cepat melapor ke petugas medis di tiga pos Klinik SRI untuk mendapatkan pengobatan," katanya.

Upaya ini terbukti mampu menyelamatkan nyawa. Ambu Sarna, seorang warga Badui Luar, menjadi salah satu yang selamat. Ia mengaku saat digigit ular berbisa, dirinya sigap menghubungi petugas medis SRI sehingga nyawanya tertolong.

"Kami sekarang sudah kembali sembuh dan kini membuka pertanian ladang, karena bulan September mendatang tanam padi gogo atau padi huma," tutur Ambu Sarna, memberikan kesaksian pentingnya penanganan cepat.

Load More