Hairul Alwan
Sabtu, 26 Juli 2025 | 10:12 WIB
Ilustrasi kemiskinan- Angka kemiskinan Banten menunjukkan penurunan tipis namun tetap berada di urutan ke-8 se-Indonesia. [Suara.com/ANTARA]

SuaraBanten.id - Di balik narasi positif pertumbuhan industri dan inflasi yang terkendali, Provinsi Banten masih menyimpan realitas pahit. Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap sebuah ironi.

Meski angka kemiskinan Banten menunjukkan penurunan tipis, Banten masih kokoh bertengger di peringkat delapan sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di seluruh Indonesia.

Dengan 772,78 ribu jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan, penurunan sebesar 0,07 persen terasa belum signifikan untuk mengubah potret suram kesejahteraan di wilayah yang dijuluki Tanah Jawara ini.

Warga miskin di Banten pada Maret 2025 berarti hidup dengan pengeluaran di bawah Rp684.232 per orang per bulan, atau sekitar Rp22.800 per hari.

Angka ini menjadi Garis Kemiskinan yang ditetapkan BPS, sebuah batas tipis antara cukup dan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup paling mendasar.

Dengan rata-rata satu rumah tangga miskin memiliki 5,22 anggota keluarga, maka keluarga harus bisa bertahan hidup dengan pendapatan di bawah Rp3,57 juta per bulan.

Menurut Ketua Tim Kerja Statistik BPS Banten, Adam Sofian, standar ini dihitung dari kebutuhan kalori dan kebutuhan non-makanan.

“Garis kemiskinan untuk kebutuhan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan, setara 2.100 kalori per kapita per hari pada 52 jenis komoditi,” kata Adam dikutip dari Bantennews (Jaringan SuaraBanten.id), Sabtu 26 Juli 2025.

Fakta yang lebih dalam terungkap saat melihat komposisi pengeluaran. Ternyata, kebutuhan pangan masih menjadi penyumbang terbesar garis kemiskinan.

Baca Juga: Intip Kondisi Land Cruiser Bekas Ratu Atut, Kilometer Rendah, Interior 'Masih Jos'

“Peran komoditas pangan mencapai 73,01 persen dalam angka garis kemiskinan. Jenis komoditas makanan itu antara lain, beras, telur ayam ras, rokok filter, dan kopi bubuk instan,” katanya.

“Sedangkan komoditas bukan makanan antara lain: perumahan, bensin, pendidikan, listrik, serta perlengkapan mandi,” Imbuh Adam Sofian.

Kehadiran rokok filter sebagai salah satu komoditas penyumbang kemiskinan menjadi ironi tersendiri di tengah perjuangan memenuhi kebutuhan pokok.

Data BPS juga menunjukkan sebuah anomali yang mengkhawatirkan. Saat pemerintah daerah merayakan penurunan jumlah penduduk miskin secara keseluruhan, wilayah perkotaan justru mengalami tren sebaliknya. Angka kemiskinan di kota-kota Banten justru mengalami kenaikan.

“Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2025 sebesar 5,58 persen. Dibanding September 2024, jumlah penduduk miskin Maret 2025 perkotaan naik sebanyak 21,4 ribu orang,” ucap Adam.

Fenomena ini kontras dengan kondisi di pedesaan, di mana jumlah penduduk miskin berhasil ditekan hingga turun sebanyak 26,1 ribu orang dalam periode yang sama.

Kenaikan angka kemiskinan di pusat-pusat ekonomi ini menjadi sinyal bahwa geliat industri belum sepenuhnya mampu mengangkat kesejahteraan semua warganya.

Secara historis, BPS mencatat bahwa tren penurunan angka kemiskinan di Banten memang terus terjadi pasca pandemi Covid-19.

Angka kemiskinan berhasil ditekan dari 6,24 persen pada September 2022 menjadi 5,63 persen pada Maret 2025. Penurunan ini didorong oleh beberapa faktor positif, seperti menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 0,38 persen poin, inflasi tahunan yang terkendali di angka 0,70 persen, serta tumbuhnya konsumsi rumah tangga dan sektor industri pengolahan.

Namun, semua data positif ini seakan belum cukup kuat untuk mendongkrak posisi Banten dari papan bawah tingkat kemiskinan nasional.

Status sebagai peringkat ke-8 termiskin menunjukkan bahwa provinsi lain bergerak lebih cepat dalam pengentasan kemiskinan, meninggalkan Banten dengan pekerjaan rumah yang masih sangat besar untuk menyejahterakan ratusan ribu warganya yang masih terhimpit kesulitan ekonomi.

Load More