SuaraBanten.id - Kehidupan tenang warga di Lingkungan Curug Kepuh, Kelurahan Bagendung, Kecamatan Cilegon, kini berganti menjadi kecemasan yang mencekam. Aktivitas galian pasir yang masif dan diduga tak terkendali telah mengubah kontur lingkungan mereka secara drastis, menciptakan tebing-tebing curam yang mengancam keselamatan permukiman.
Warga di sekitar galian pasir kini tidak hanya harus berhadapan dengan polusi suara yang mengganggu waktu istirahat, tetapi juga hidup di bawah bayang-bayang ancaman longsor dan krisis air bersih.
Situasi ini telah berlangsung cukup lama, namun keluhan warga seolah menemui jalan buntu. Aktivitas galian pasir yang terus berlanjut telah mengikis lahan secara signifikan, membuat rumah-rumah mereka kini berada dalam posisi yang sangat berbahaya, seolah menggantung di tepi jurang buatan.
Menurut penuturan salah seorang warga, Santari, aktivitas pengerukan ini telah menjadi sumber keresahan utama di lingkungannya.
Baca Juga:PPP Cilegon Tegaskan Dukung Mardiono di Muktamar ke-10, Target Kursi DPR RI Sebagai Pembuktian
Kebisingan dari lokasi galian yang berlangsung sejak malam hingga pagi hari telah merenggut ketenangan warga. Upaya untuk mencari solusi melalui jalur formal pun telah ditempuh, namun belum membuahkan hasil.
“Kita sudah lapor ke Pak RT, ini bagaimana berisik kalau malam sampai pagi. Itu mah usaha, bukan perataan. Wong terus-terusan digali sampai berapa meter,” ungkapnya saat ditemui Kamis, 9 September 2025.
Lebih jauh, ia menyayangkan tidak adanya kompensasi apa pun bagi warga yang terdampak langsung. Padahal, menurutnya, gangguan yang mereka rasakan sangat nyata dan seharusnya ada bentuk pertanggungjawaban dari pihak pengelola galian.
“Seharusnya ada kompensasi, tapi warga tidak merasa menerima walau sepeser pun. Warga beberapa sudah komplain,” tambah Santari.
Kecurigaan warga semakin menguat karena aktivitas di lokasi dinilai janggal. Mereka mengamati truk-truk berukuran besar secara rutin mengangkut pasir hasil kerukan ke luar kota.
Baca Juga:Ada Beking Oknum Aparat? PWI Cilegon Desak Kapolda Baru Sikat Pelaku Pengeroyokan 8 Wartawan
Namun, anehnya, tidak ada satu pun alat berat yang terlihat beroperasi di lokasi, memunculkan dugaan bahwa aktivitas ini mungkin tidak memiliki izin resmi.
“Proyek itu juga sudah lama, tapi bingung kok tanah sebelah sini sudah diacak-acak, tapi tidak ada alat beratnya satu pun. Kemungkinan juga belum resmi, kalau resmi pasti warga juga merasa. Ini kan terganggu,” tuturnya.
Dampak paling merusak dari galian ini adalah pada sumber daya alam vital: air bersih. Getaran dan kedalaman kerukan telah menyebabkan air sumur warga yang semula jernih menjadi keruh dan kotor, memicu krisis air bersih di lingkungan tersebut.
Kondisi ini bahkan sempat memicu aksi protes dari warga yang merasa hak dasarnya terganggu.
“Kemarin sudah didemo, sebab air sumurnya kotor karena kedaleman,” jelas Santari.
Meskipun pihak pengelola telah memasang pagar di sekeliling area galian, warga menilai upaya tersebut sama sekali tidak cukup untuk menjamin keselamatan mereka. Ancaman longsor, terutama saat hujan deras, menjadi ketakutan terbesar yang menghantui setiap hari.
“Sekarang itu rumah-rumah seperti benar-benar di atas tebing. Kalau hujan deras atau galian makin dalam, ngeri bisa longsor. Warga jadi was-was tiap malam,” ucap seorang warga lain yang meminta identitasnya tidak disebutkan.
Warga kini menaruh harapan besar pada pemerintah daerah untuk segera turun tangan dan menertibkan aktivitas yang merusak ini sebelum terjadi bencana.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cilegon, Sabri Mahyudin, sempat menyatakan akan meninjau lokasi pada Rabu 10 September 2025.
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada informasi lebih lanjut mengenai realisasi kunjungan tersebut, membiarkan warga tetap hidup dalam ketidakpastian dan ancaman.