SuaraBanten.id - Setelah BPOM menyatakan vaksin Nusantara Terawan belum layak disuntikkan sebagai vaksin COVID-19, muncul desakan hentikan uji klinis vaksin Nusantara Terawan. Desakan itu disampaikan Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman.
Dia minta pemerintah segera menghentikan dan mengembalikan proses pengembangan vaksin Nusantara ke kaidah sains.
Semua evaluasi dan rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan sudah tepat. Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu harus dihentikan dan kembali ke fase pra-klinik.
"Saya imbau pemerintah tidak boleh membiarkan hal seperti ini walaupun yang memimpinnya ini mantan pejabat publik, kalau salah secara metode ilmiah yang harus diluruskan, karena ini menyangkut fasilitas pemerintah publik itu dibayar pajak, kalau tidak ada manfaat untuk kesehatan masyarakat ya gak boleh," kata Dicky.
Baca Juga:Geger! BPOM Bongkar 5 Kesalahan Vaksin Nusantara Terawan, Hingga Bahaya
"Ini salah kaprah dan apa yang disampaikan BPOM sudah tepat, ini berbahaya ketika ada satu riset yang tidak merujuk dan tidak berpedoman pada kaidah ilmiah," lanjutnya.
Vaksin Nusantara dinilai tidak sesuai kaidah penelitian yang baik (Good Clinical Practice/GCP) serta tidak transparan.
![Peneliti Vaksin Nusantara di RSUP Kariadi Semarang [Suara.com/Dafi Yusuf]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/02/19/99189-vaksin-nusantara.jpg)
"Ada tendensi yang tidak pas dari penamaan vaksin Nusantara ini, seolah mengesankan ini produk dalam negeri padahal faktanya tidak, dalam dunia ilmiah ini sudah tidak etis," kata dia.
Secara ilmu kesehatan masyarakat, vaksin Nusantara dinilai tidak efisien sebab harganya mahal serta membutuhkan waktu yang lama dalam proses sel dendritik mulai dari pengambilan sampel darah, pengelolaan di laboratorium, hingga disuntikkan kembali ke tubuh.
"Dendritik sel vaksin ini tempat vaksinasinya juga harus di rumah sakit, tidak bisa di puskesmas, tidak bisa di posyandu, terus mahal ini, rata-rata Rp200 jutaan ini kalau saya lihat di Jepang misalnya untuk yang kanker, mahal sekali," kata dia.
Baca Juga:Jadi Pertama di Dunia, Denmark Resmi Setop Gunakan Vaksin AstraZeneca
Dicky menilai pengembangan vaksin Nusantara di Indonesia sarat akan kepentingan politik karena didukung oleh beberapa politikus.