Scroll untuk membaca artikel
Hairul Alwan
Sabtu, 10 September 2022 | 16:37 WIB
Profil Denny Siregar (YouTube/COKRO TV)

SuaraBanten.id - Pegiat media sosial Denny Siregar turut buka suara atas penolakan pembangunan gereja di Kota Cilegon, Banten. Penolakan pembangunan gereja yang direncanakan berlokasi di Lingkungan Sumur Wuluh, Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon itu bahkan mendapat dukungan dari Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon.

Diketahui, Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon, Sanuji Pentamarta ikut menandatangani kain putih sebagai pernyataan menolak pembangunan gereja di Kota Baja.

Terkait penolakan tersebut, Denny Siregar menganggap lucu alasan massa yang menolak pembangunan gereja dengan dalih toleransi.

"Yang lucu di Cilegon itu, mereka melarang pendirian gereja disana atas nama toleransi..," cuit Denny Siregar melalui Twitter pribadinya @Dennysiregar7.

Baca Juga: Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon Tanda Tangani Penolakan Pembangunan Gereja, Maarif Institute: Melanggar Konstitusi

Ia pun mempertanyakan arti tolaransi bagi massa yang menolak pendirian di Kota Cilegon, Banten yang bahkan didukung kepala daerah.

Cuitan Denny Siregar. [Twitter]

"Gak paham apa makna toleransi bagi mereka. Mungkin toleransi itu berarti 'Gua boleh begini, lu gak boleh begitu..'," tulis Denny Siregar menambahkan pernyataannya dalam cuitan tersebut.

Dalam cuitan lainnya, Denny Siregar diduga menyindir Wali Kota Cilegon yang disebut memilih menyerah dan kalah oleh ormas.

"Ketika negara kalah sama ormas... Hidup, pak Walikota. Lebih baik menyerah daripada jabatan hilang nantinya (emot metal 2x)," tulis Denny Siregar dalam cuitan lainnya.

Sebelumnya diberitakan, Maarif Institute membuat surat terbuka mengkritisi pemimpin Kota Cilegon yang ikut serta menandatangani penolakan pembangunan gereja tersebut.

Baca Juga: Soroti Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon Banten, Mohamad Guntur Romli: Tidak Mencerminkan Orang Islam

Dikutip dari Twitter resminya @maarifinstitute, Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali membuat surat terbuka terkait hal tersebut.

"Surat Terbuka untuk Walikota Cilegon, Bapak Helldy Agustian dan Wakil Walikota Cilegon, Bapak Sanuji Pentamarta terkait penolakan rencana pendirian rumah ibadah di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha," cuit @maarifinstitute.

Dalam surat terbuka tersebut Abd Rohim Ghazali mengaku prihatin saat mengetahui pemberitaan dua pejabat publik yakni Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon menandatangani penolakan pendirian gereja.

"Bapak Walikota dan Wakil Walikota yang kami horrmati. Sebagai anak bangsa kami sangat prihatin menyaksikan dan membaca berita tentang bapak berdua yang nota bene sebagai pejabat negara ikut menandatangani penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, pada 7 September 2022," kata Rohim dalam surat terbuka tersebut.

Ia pun mempertanyakan apakah dua pejabat Cilegon itu tidak sadar jika apa yang dilakukannya merupakan pelanggaran konstitusi.

"Apakah tidak sadar bahwa apa yang bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," ujarnya.

"Penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara adalah tindakan yang sengaja menghalangi-halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya," katanya.

Ia juga menyebut menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah. Menurutnya, keberadaan rumah ibadah adalah keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama.

"Kalau penolakan itu dilakukan oleh waga negara, anggota masyarakat biasa, barangkali bisa disebut sebagai bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi –walau ini pun perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah dan atau menghalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain," ujarnya.

Tak hanya melanggar konstitusi, Rohim juga menyebut bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon, penolakan pendirian rumah ibadah juga melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) menganai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

Rohim juga mengungkap data yang diperolehnya, secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon. Kelima agara tersebut yakni, Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen.

"Dari kelima agama itu, anehnya, tak ada satu pun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam. Jumlah Masjid 381, Musholla 387, sementara Gereja Protestan, Gereja Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero!," ungkapnya.

Rohim juga menyebut Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon bisa saja berdalih atas penolakan pembangunan gereja yang sangat diskriminatif tersebut.

"Tapi bagi kami, ini membuktikan dengan jelas bahwa toleransi beragama yang setiap saat dipidatokan dengan penuh semangat, dan anti diskriminasi yang selalu menghiasi orasi, semuanya omong kosong belaka. Dan, di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang bapak berdua pimpin, omong kosong itu begitu nyata adanya," urai Rohim.

Dalam surat terbuka tersebut, Rohim juga memastikan surat yang ia tulis bukan untuk mendiskreditkan, atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat kami terhadap sesama Muslim. Ia pun menjelaskan bukankah dalam al-Quran kita dianjurkan, atau bahkan diperintahkan untuk saling nasihat-menasihati satu sama lain, agar kita tidak merugi.

"Kepada bapak bedua kami nasihatkan, atau kami anjurkan untuk menaati konstitusi dan undang-undang. Berilah kebebasan kepada warga negara yang berada di wilayah bapak berdua, untuk memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing-masing," imbaunya.

Ia juga berpesan agar Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon tidak bertindak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, dan mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain.

"Jadilah negarawan sejati yang senantiasa berpikir, berkata, dan bertindak untuk kepentingan semua warga negara. Dengan menunjukkan sikap sebagai negarawan, niscaya bapak bedua akan dicatat sebagai pemimpin yang layak menjadi teladan," pungkasnya.

Load More