SuaraBanten.id - Suasana duka masih menyelimuti keluarga pasangan suami isteri (pasutri) Eman Rusmana (38) dan Ene (33) setelah empat hari meninggalnya putri ketiga mereka Reva Aulia. Bocah berusia empat tahun itu meninggal pada Sabtu (11/1/2020) setelah dinyatakan positif terjangkit Deman Berdarah Dengue (DBD) oleh pihak Puskesmas dan RSUD Berkah Pandeglang.
Pasutri korban Tsunami Banten ini menempati hunian sementara (huntara) yang berlokasi di Kampung Pasir Malang, Desa Sumber Jaya, Kecamatan Sumur. Setelah Reva meninggal, keluarga Eman berada di rumah mertuanya di Kampung Sumur Adem, Desa Sumber Jaya.
Saat dikunjungi Suara.com pada Rabu (15/1/2020) di kampung tersebut, sejumlah warga yang didominasi ibu-ibu tengah sibuk memasak di bagian dapur untuk menyiapkan acara tahlilan hari ke lima. Duka atas kepulangan Reva masih nampak di wajah Eman dan Ene. Bahkan Ene nampak masih lemas dan harus dibopong oleh kakaknya untuk masuk ke rumahnya. Beberapa kali dia menetaskan air matanya.
Eman mengaku masih sangat berduka atas kepergian putri ketiganya. Ia juga memiliki penyesalan karena tidak mampu memperjuangkan anaknya untuk dirujuk ke Rumah Sakit (RS) Krakatau Medika Cilegon sesuai saran pihak RSUD Berkah Pandeglang.
Faktor keuangan menjadi alasan utama Eman tidak mampu merujuk putrinya ke rumah sakit KS. Lantaran ayah tiga anak yang bekerja sebagai nelayan tidak memiliki jaminan kesehatan atau BPJS. Sementara uang yang dimilikinya sudah habis untuk berobat sejak dari Puskesmas hingga RSUD Berkah.
"Kalau perasaan setelah meninggal sedih banget, keduanya saya enggak penasaran. Kalau saya mampu, pas dokter bilang rujuk ke KS (saya rujuk) bukan enggak pengin, tapi saya mengukur kemampuan saya enggak bisa lah karena enggak ada yang bantu dari pihak manapun," ungkap Eman.
Saat anaknya masih dirawat, Eman memang sempat ditanya oleh perawat terkait kepemilikan BPJS, karena tidak ada, perawat pun sempat menyarankan Eman untuk menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Awalnya, jika kondisi anaknya membaik Eman berniat untuk mengurusnya.
Sebab untuk menggunakan fasilitas berobat tersebut membutuhkan waktu yang cukup karena harus melewati beberapa tahapan birokrasi dari tingkat desa, kecamatan hingga ke dinas sosial (dinsos). Sementara, ia tak bisa berbuat apa-apa karena kondisi anaknya kritis.
"Kenapa anak bapak enggak pakai BPJS? Kata saya, saya enggak punya BPJS, anak saja juga enggak punya BPJS. 'Udah gini aja pak,' katanya sekarang kan bisa pake SKTM, SKTM itu kan kita harus ngurus dulu. Kalau anak saya bisa sadar, saya mau ngurus SKTM," kata Eman meniru percakapannya dengan perawat saat itu.
Baca Juga: Warga Korban Tsunami Banten Desak Pemkab Perhatikan Lingkungan Huntara
Eman menceritakan, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, Reva sudah kritis. Ia sempat beberapa kali ditanya untuk memberikan keputusan dirujuk atau tidak, namun Eman tetap ingin anaknya membaik terlebih dulu sebelum dirujuk.
"Karena keadaan kita lagi panik, melihat anak kritis banget. Akhirnya, dokter sempat nanya lagi keputusan bapak Eman ini. Kata saya, 'dok, anaknya rawat di sini saja dulu biar anak saya sadar dulu.' Maksud saya kalau anak saya bisa sadar, bisa melek saja, gampang berdiri mah, baru kita akan rujuk," ungkap Eman.
Eman melanjutkan, berdasarkan pengakuan dari dokter yang sempat merawat anaknya, alasan putrinya harus dirujuk ke rumah sakit lain, karena kekurangan sarana prasarana yang dimiliki RSUD tersebut, salah satunya tidak ada ruangan ICU.
"Akhirnya, dokter bilang di sini sudah enggak bisa karena perlengkapannya enggak lengkap, seperti Rumah Sakit KS. Pertama, kelemahan rumah sakit ini, enggak ada ruang ICU. Setelah itu, kalau anak saya disuruh ke (RS) KS, saya harus mengukur dengan kemampuan saya. Jadi untuk ke KS ini saya enggak mampu. Saya pengin di rawat di sini saja semaksimal mungkin, mudah-mudahan ada pertolongan dari Allah," katanya.
Karena sudah memiliki firasat yang kurang baik, akhirnya Eman berunding dengan keluarganya untuk membawa pulang kembali putrinya. Dokter rumah sakit beberapa kali menyakinkan Eman jika keputusannya untuk mencabut anaknya sudah tepat.
"Dari situ kita ngomong ke dokter sekitar jam 15.00 WIB, 'Pak dokter, anak saya mau saya bawa pulang saja.' Dokter sempat nya ke saya (keputusan membawa pulang anaknya). Karena saya mengukur kemampuan, materi saya juga sudah menipis, biaya hidup selama di rumah sakit."
Berita Terkait
-
Warga Korban Tsunami Banten Desak Pemkab Perhatikan Lingkungan Huntara
-
Kronologis Bocah Korban Tsunami Banten yang Meninggal karena DBD di Huntara
-
Balita Korban DBD yang Meninggal di Sumur, Penghuni Huntara Tsunami Banten
-
Kasus DBD di Pandeglang Meningkat, Bupati Irna: Semoga Ini Tidak Menyebar
-
Kisah Korban Tsunami Selat Sunda Tinggal di Huntara yang Memprihatinkan
Terpopuler
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- Beda Biaya Masuk Ponpes Al Khoziny dan Ponpes Tebuireng, Kualitas Bangunan Dinilai Jomplang
- 5 Fakta Viral Kakek 74 Tahun Nikahi Gadis 24 Tahun, Maharnya Rp 3 Miliar!
- Promo Super Hemat di Superindo, Cek Katalog Promo Sekarang
- Tahu-Tahu Mau Nikah Besok, Perbedaan Usia Amanda Manopo dan Kenny Austin Jadi Sorotan
Pilihan
-
Cuma Satu Pemain di Skuad Timnas Indonesia Sekarang yang Pernah Bobol Gawang Irak
-
4 Rekomendasi HP Murah dengan MediaTek Dimensity 7300, Performa Gaming Ngebut Mulai dari 2 Jutaan
-
Tarif Transjakarta Naik Imbas Pemangkasan Dana Transfer Pemerintah Pusat?
-
Stop Lakukan Ini! 5 Kebiasaan Buruk yang Diam-diam Menguras Gaji UMR-mu
-
Pelaku Ritel Wajib Tahu Strategi AI dari Indosat untuk Dominasi Pasar
Terkini
-
Patroli Siber Diperkuat! Polisi Kejar Pelaku Teror Bom Digital yang Sasar Sekolah di Tangsel
-
AgenBRILink Permudah Akses Keuangan di Kepulauan Mentawai, Tanpa Perlu ke Kantor Cabang
-
Kaur Keuangan Sikat Dana Desa Rp1 Miliar, Rekening Desa Petir Kosong Melompong, Pelaku Kini Buron
-
Pilar Ungkap Fakta Mengejutkan, Robohnya Billboard Raksasa Ciputat Akibat Pelanggaran Serius
-
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga! Korban Billboard Raksasa di Tangsel Merana, Harta Ludes Dijarah Maling