Kasus Pemerasan di Bandara Soetta yang Jerat Mantan Pegawai Bea Cukai Disoal, Ahli Hukum: Penetapan Tersangka Prematur

Penetapan tesangka kasus tindak pidana korupsi kasus dugaan pemerasan Perusahaan Jasa Titip (PJT) dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Bea Cukai Soetta dianggap prematur.

Hairul Alwan
Kamis, 16 Juni 2022 | 13:43 WIB
Kasus Pemerasan di Bandara Soetta yang Jerat Mantan Pegawai Bea Cukai Disoal, Ahli Hukum: Penetapan Tersangka Prematur
Suasana persidangan kasus dugaan pemerasan Perusahaan Jasa Titip (PJT) dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, Rabu (15/6/2022). [IST]

SuaraBanten.id - Penetapan tesangka kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam perkara kasus dugaan pemerasan Perusahaan Jasa Titip (PJT) dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta, dianggap prematur atau terlalu tergesa-gesa.

Hal tersebut diungkapkan Ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Chairul Huda dalam sidang keterangan ahli terdakwa Qurnia Ahmad Bukhori (QAB) selaku mantan Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Pabean pada KPU Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, Rabu (15/6/2022). Prof Chairul Huda mengatakan, tidak mungkin ada peserta bila tidak ada pelaku utamanya.

"Tidak mungkin orang dikualifikasikan melakukan tindak pidana tanpa ada pelaku utamanya terlebih dahulu, orang yg tdk mungkin menjadi pelaku ,tdk mungkin menjadi peserta, pasti disebutkan pelaku utamanya dulu, menurut saya ada proses yg prematur disini, dlm penetapan tersangka,siapa yg menjadi pelaku yaitu yang menerima langsung pemberian," jelas Prof Chairul Huda.

Diketahui, dalam perkara ini terdakwa QAB ditetapkan sbg tersangka pada 3 februari 2022 sedangkan terdakwa VIM yang diduga sebagai pelaku penerima suap ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 24 februari 2022.

Menurut Prof Chairul Huda, hubungan atasan dan bawahan antara Qurnia dan Istiko tidak bisa disangkutpautkan dengan kasus dugaan pemerasan PJT dan TPS di Bea dan Cukai Soekarno-Hatta,

Baca Juga:Di Usia 71 Tahun, Mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin Divonis 12 Tahun Penjara Karena Dua Kasus Korupsi

"Gak ada urusan atasan dan bawahan (dalam kasus korupsi), adanya penyertaan. Siapa yang jadi pelaku, dan siapa penyertanya. Ada banyak kategori yang menghubungkan, mempunyai jabatan tertentu, dilihat ada hubungan penyertaannya. Bukan hubungan atasan dan bawahannya," ujarnya.

Prof Chairul juga memaparkan terkait adanya laporan dari bawahan kepada atasannya, adanya permintaan uang oleh bawahannya. Namun tanpa sepengetahuan atasannya, tidak bisa dikaitkan, atau turut serta dalam tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.

"Di dalam hukum pidana indonesia, dikatakan tindak pidana itu sebelum terjadinya delik, dan pada saat terjadinya delik. Bila setelah terjadinya delik Itu tidak bisa dinyatakan penyertaan. Tidak bisa kepesertaan setelah perbuatan terjadi. Atasannya tidak bisa disebutkan turut serta," jelasnya.

Sementara itu, Ahli Pidana lainnya yg merupakan Guru Besar UII Yogyakarta, Prof Mudzakkir mengatakan, penerapan pasal 11, pasal 12, dan pasal 23 Undang-Undang Tipikor tidak bisa disatukan. Sehingga dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dianggap kabur, dan tidak tepat, ia juga memandang ada beberapa pasal yang berbenturan.

"Pasal 12 huruf e, tema besarnya menggunakan paksaan dalam kewenangan jabatannya. Pasal 11 tindak pidana suap, mirip gratifikasi, karena menerima sesuatu. Kalau pemerasan itu pasal 12 huruf e, tapi bawahnya suap (pasal 11-red), itu tidak bisa di subsiderkan. Pasal 23 ada paksaan dan ada korelasinya. Tapi pasal 11 tidak koneksi dengan pasal 12. Jadi dakwaan kabur khususnya pasal 11," kata ahli kepada Majelis Hakim yang diketuai Slamet Widodo disaksikan JPU.

Baca Juga:Penyelidikan Kasus Formula E Berlanjut, KPK Panggil Eks Sesmenpora

Selain itu, pasal 11 dan 12, Prof Mudzakkir menambahkan pasal 23 UU Tipikor tidak bisa dihubungkan atau dijuntokan dengan pasal Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Pasal 23, tidak boleh dijuntokan pasal 421 lagi. Itu terserap pasal 23. Junto 421 kejahatan dalam KUHP. Tidak cocok dan tepat, serta melanggar hukum pidana. Cukup pasal 23, ditekankan saja memeras dalam kurung 421. Kalau berdiri sendiri itu kabur," tambahnya.

Prof Mudzakkir juga menjabarkan penerapan pasal 55 KUHP, JPU harus bisa membuktikan unsur-unsur pidana terhadap pelaku kejahatan. Tidak serta merta, mendakwakan lantaran pelaku lebih dari satu orang.

"Dalam surat dakwaan harus disebut secara rinci, harus dijelaskan pelaku sebagai apa. Kalau jaksa mendakwa pasal 55 harus menyusun berdasarkan perbuatannya. Jika tidak digambarkan, dakwaannya kabur tidak jelas dan dibatalkan dakwaan itu. Kalau kebetulan itu tidak bisa, harus berdiri sendiri. Tidak ada komitmen untuk melakukan bersama-sama atau itu hanya faktor kebetulan," ungkapnya.

Untuk perbuatan terdakwa Qurnia, dan bawahannya Vincentius Istiko Murtiadji mantan Kasi Fasilitas Pabean dan Cukai Bandara Soekarno Hatta tidak bisa dikaitkan. Prof Mudzakkir memandang masing-masing mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Tugasnya yang bersangkutan memerintahkan tupoksinya. Kalau itu jabatan yang diperintahkan sesuai tupoksi, tergerak karena tupoksi bukan jabatan. Kalau menyalahgunakan jabatan, maka tanggungjawabnya yang menyalahgunakan. Siapa yang berbuat, siapa yang bertanggungjawab. Jika melampaui tugas atasannya. Tanggungjawab pribadi, tidak bisa dibebankan ke atasannya," tegasnya.

Selain itu, Prof Mudzakkir juga menyebut penyadapan yang dilakukan oleh Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Kementerian Keuangan dianggap tidak sah. Karena, penyadapan dalam aturan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum, atas izin pengadilan dan ada prosedur yang jelas.

"Produknya tidak sah (penyadapan atau, rekaman diambil secara mencuri)," tandasnya.

Lebih lanjut, Prof Mudzakkir menambahkan jika perkara telah diselesaikan oleh internal, dan hasilnya dianggap selesai atau tidak ditemukan adanya pelanggaran, maka kasus tersebut sudah tidak bisa dibawa ke ranah pidana.

"Jika terjadi penyalahgunaan wewenang, maka akan ada pemeriksaan internal oleh Apip. Penyalahgunaan wewenang ini merupakan pelanggaran administrasi, dan diselesaikan secara administrasi. Jika masih dalam pemeriksaan Apip maka itu masih kewenangannya, apakah pelanggaran kode etik, administrasi, kalau hasil pemeriksaannya clear ya sudah selesai," pungkasnya

Kontributor : Firasat Nikmatullah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini