SuaraBanten.id - Fakta baru terungkap dalam sidang lanjutan mafia tanah 45 hektare di Keluarahan Kunciran Jaya dan Kelurahan Cipete, Kecamatan Pinang.
Dalam sidang mafia tanah 45 hektare terungkap Darmawan iming-imingi lahan untuk perluasan ponpes yang berada di lahan seluas 45 hektare itu.
Diinformasikan, sidang berlangsung secara tatap muka di Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A dan virtual ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi.
Sidang yang dipimpin hakim ketua Nelson Panjaitan ini dihadiri oleh belasan warga yang menjadi korban pencaplokan tanah. Kemudian kuasa hukum terdakwa. Sedangkan terdakwa Darmawan (48) dan Mustafa Camal Pasha (61) menghadiri secara virtual.
Baca Juga:Hakim Tangan Tuhan Bukan Tangan Setan, Protes Warga di Persidangan Mafia Tanah 45 Hektare
Dalam sidang ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang menghadirkan dua saksi yakni Franky dari PT Tangerang Marta Real Estate (TMRE).
Kemudian, warga kelurahan Cipete, Kecamatan Pinang yang menjadi korban pencaplokan lahan sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren An- Nuqthah, Zuhri Fauzi. Sebelum menjalani sidang kedua saksi disumpah diatas kitab suci masing-masing.
Keduanya dicecar banyak pertanyaan oleh hakim ketua pada sidang ini. Nelson bertanya soal hubungan keduanya dengan para terdakwa.
"Saksi Franky dan Zuhri apa kalian kenal dengan terdakwa yang ada di layar ini ? Apa hubungan saksi dengan terdakwa ?," tanya Nelson kepada saksi.
Zuhri dan Franky pun menjawab kalau keduanya mengenali Darmawan namun tidak dengan Mustafa Camal. Zuhri mengaku mengenal Darmawan namun tidak dekat.
Baca Juga:Sidang Mafia Tanah 45 Hektare: Darmawan Iming-imingi Rp1 Juta Untuk Garap Lahan
Zuhri mengaku sempat bertemu dengan Darmawan dirumahnya pada Agustus 2020 lalu. Menurut Zuhri dirinya tidak memiliki hubungan khusus dengan Darmawan baik rekan kerja ataupun teman.
"Pernah kerumah saya satu kali dengan Darmawan. Yang hadir ke tempat saya 3 orang," ungkapnya.
Kedatangan Darmawan kata Zuhri pada saat itu adalah untuk memberi tahu soal pembebasan lahan yang akan dilakukan Darmawan.
Pada percakapan itu, kata Zuhri, Darmawan mengatakan ingin membebaskan lahan seluas 45 hektare di sekitar lokasi tersebut.
"Kebetulan di belakang Kecamatan (Pinag) saya ada lahan Kemudian lahan saya digusur, sama mobil itu saya gak tau, terakhir katanya Darmawan yang punya lahan itu. Kemudian mereka mau beli lahan saya. Saya bilang saya gak pernah jual lahan, dia mau beli. Intinya dia minta restu dari saya," kata Zuhri dalam sidang.
Zuhri mengungkapkan kalau Ponpes pimpinannya berada diatas lahan yang diklaim oleh Darmawan. Dia pun heran, lahan Ponpes seluas 3 hektare tersebut selama ini tidak pernah diperjualbelikan kemudian sudah turun-temurun disertai Sertifikat asli.
"Kalo saya iya kan Ponpes yang saya pimpin, kemudian kakek bapak saya itu dulu numpang disana, makannya saya bilang, berati ponpes numpang ? Padahal itu tanah punya saya," kata Zuhri.
"Kalimat itu saya gak terima. Berati saya menyetujui kalo Darmawan itu yang punya lahan. Padalah itu lahan pesantren atas nama saya, istri saya, buyut saya dan ayah saya," tambah Zuhri.
Saat itu Darmawan pun mengiming-imingi Zuhri dengan lahan untuk pembangunan perluasan Ponpen bila merestui pembebasan lahan 45 hektare itu. Namun, karena banyak kejanggalan Zuhri pun menolaknya.
"Dia (Darmawan) janji tanah yang dipake oleh pesantren tidak akan kita Gusur tapi akan ditambahkan lagi. Saya fikir itu lahan siapa. Maka saya tolak," katanya.
Zuhri sempat bersitegang dengan hakim ketua yang terus mencecar banyak pertanyaan. Terutama soal memperlihatkan sertifikat hak milik (SHM) yang dimiliki oleh Zuhri serta peta lokasinya. Namun, tak berlangsung lama sidang pun kembali normal.
Saksi Franky mengaku mengenal Darmawan namun tidak ada hubungan khusus. Dia menjelaskan upaya Darmawan dalam menguasai lahan tersebut sudah terjadi sejak 2017 lalu. Upaya tersebut dilakukan tiga kali dengan tiga dokumen yang berbeda.
"Pada saat sekitar tujuh atau enam tahun lalu, tiba-tiba datang Darmawan mengklaim tanah dibeli dari masyarakat, kemudian kelompok," ungkap Franky
"Darmawan ini datang dengan rombongannya menyatakan dan ingin menguasai bidang yang kami punya. Dia perlihatkan Girik, tahun 2017," tambah Franky.
Franky pun terkejut dan menyelidiki Girik yang digunakan sebagai bukti kepemilikan tersebut. Tenyata saat dicek Girik itu tidak terdaftar di Kelurahan baik di Kelurahan Cipete, Kunciran dan Kecamatan Pinang.
"Nomor girik tidak terdaftar di Kelurahan. Itu keterangan dari camat dan lurah itu emang tidak tercatat," beber Franky.
Setelah gagal kata Franky, Darmawan kembali mencoba menguasai lahan dengan modal SK Residence Banten pada 2018. Namun, lagi-lagi SK tersebut tidak dapat dibuktikan keasliannya.
"Saya pertanyakan ke Kecamatan bahwa tidak ada keterangan apapun. Saya temukan dokumen lama yang menyatakan SK itu dibatalkan. Ada di keterangan itu, sudah dicabut," paparnya.
Puncaknya pun terjadi pada 2020, Darmawan menggunakan sertifikat Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) 1 sampai 9 yang masing-masing seluas 5 hektare. Itu pun juga tidak dapat dibuktikan keasliannya.
"Girik sesuai dengan keterangan camat dan lurah tidak tercacat artinya palsu, lalu SK residen Banten di dalam keterangan sudah dicabut. Intinya dia sudah 3 kali mencoba menguasai lahan dengan tiga dokumen yang beda," ungkap Franky.
Sidang pun usai dan akan dilaksanakan kembali pada Rabu, (04/08/2021) mendatang dengan agenda menghadirkan saksi dari pihak terdakwa.
Salah satu warga Minarto menilai keterangan saksi yang dibeberkan ini jelas sangat kongret. Namun dia menyayangkan Hakim Ketua Nelson Panjaitan yang dinilai berat sebelah.
"Hakim nyeleneh periksa saksi kaya periksa terdakwa. Pertanyaaan udah keluar dari subtansi dia sebagai hakim. Dan ketahuan sekali keberpihakan dia untuk memenangkan salah satu terdakwa. Contohnya, ngapain ke saksi warga dia nanyain patok tanah padahal warga diminta datang hanya untuk bawa surat kepemilikan dia," tegasnya.
Kontributor : Muhammad Jehan Nurhakim