SuaraBanten.id - Sebuah pemandangan kontras yang menyentuh tersaji di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Senin (4/8/2025). Di dalam ruang sidang, proses hukum kasus pembunuhan sadis terhadap Ipat Fatimah (26), seorang penjaga BRILink, berjalan hening dan tertutup rapat.
Namun di luar, halaman pengadilan justru "bergejolak" oleh kehadiran puluhan warga yang datang untuk mengawal jalannya keadilan. Sidang ketiga dengan terdakwa anak berhadapan dengan hukum berinisial MDR ini memang tidak bisa diakses publik.
Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah warga Desa Tanjungsari, tempat korban berasal, untuk menunjukkan bahwa duka dan tuntutan keadilan mereka tidak akan pernah padam.
Di dalam ruang sidang, agenda berjalan sesuai rencana dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 12 orang saksi.
Baca Juga:Sidang Mutilasi di PN Serang Ricuh, Keluarga Kejar dan Lempari Terdakwa Usai Dituntut Hukuman Mati
Kuasa hukum keluarga korban, M. Vickran Rayyana, yang turut mendampingi para saksi, menyatakan bahwa proses hukum sejauh ini berjalan lancar.
“Ini sidang ketiga, kami mendampingi para saksi korban yang dipanggil untuk memberikan keterangan dalam persidangan. Semuanya berjalan lancar,” ujar Vickran usai persidangan.
Ia memastikan seluruh saksi telah memberikan keterangan terbaik mereka di hadapan majelis hakim.
“Alhamdulillah, sidang hari ini selesai dengan baik. Para saksi sudah memberikan keterangannya di hadapan majelis,” tambahnya.
Namun, drama sesungguhnya terjadi di luar tembok pengadilan. Puluhan warga, dengan duka yang masih membekas, rela datang berbondong-bondong mengantar para saksi.
Kehadiran mereka menjadi bentuk dukungan moral yang sunyi namun begitu kuat. Kepala Desa Tanjungsari, Zaenal Arifin, yang turut hadir di tengah warganya, menjelaskan makna di balik aksi solidaritas ini.
Baca Juga:Sakit Hati Berujung Maut, Remaja Pembunuh Penjaga BRILink di Serang Didakwa Pembunuhan Berencana
“Benar, hari ini masyarakat ikut mengantar para saksi. Ini sebagai bentuk simpati yang mendalam dari masyarakat kepada keluarga korban,” ujar Zaenal.
Ia dengan tegas menampik anggapan bahwa kehadiran massa ini bertujuan untuk menekan atau mengintervensi proses hukum.
Menurutnya, ini adalah murni luapan empati dan rasa memiliki terhadap korban dan keluarganya. Mereka hanya ingin memastikan bahwa tragedi yang mengguncang desa mereka tidak dilupakan.
“Meski persidangan tertutup, masyarakat ingin menunjukkan dukungan moral. Ini bukti bahwa kami semua merasakan duka yang mendalam atas kejadian ini,” tandasnya.
Aksi solidaritas ini menjadi cerminan luka mendalam yang ditinggalkan oleh kasus pembunuhan Ipat Fatimah.
Sementara hukum berjalan dalam sunyi di balik pintu tertutup untuk melindungi hak anak yang menjadi terdakwa, di luar, gema tuntutan keadilan dari masyarakat terus bergema dengan cara mereka sendiri.