SuaraBanten.id - Sebuah potret ironis dalam dunia pendidikan Kota Tangerang Selatan (Tangsel) akhirnya menemukan babak baru. Setelah hampir setahun belajar lesehan di lantai, penderitaan siswa SMKN 8 Tangsel berakhir.
Namun, solusi ratusan meja dan kursi yang datang bukan hasil dari perencanaan sistematis, melainkan sebuah respons cepat yang lahir setelah kisah siswa SMKN 8 Tangsel belajar lesehan di lantai menjadi sorotan tajam dan viral di media sosial.
Bantuan sarana belajar dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten yang tiba pada Rabu (30/7/2025) itu seolah menjadi bukti nyata bahwa tekanan publik terkadang lebih ampuh daripada laporan birokrasi.
Kini, para siswa telah kembali belajar dengan normal, meninggalkan lantai dingin yang sempat menjadi saksi bisu perjuangan mereka menimba ilmu.
Baca Juga:Pelarian 2 WNA Iran Pencuri Uang E-Toll di Serang Berakhir di Meja Imigrasi
“Alhamdulillah sudah terpenuhi semua. Meja dan kursi sudah digunakan anak-anak. Kepala Dinas Pendidikan cepat merespons kondisi ini,” kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana, Muraja, pada Jumat (1/8/2025).
Meski ada nada syukur, pernyataan "cepat merespons" itu datang setelah masalah berlangsung cukup lama. Muraja menjelaskan bahwa kondisi belajar lesehan ini bukanlah masalah baru.
Ini sudah terjadi sejak tahun 2024, ketika sekolah yang baru berdiri setahun sebelumnya menerima angkatan kedua dan mengalami lonjakan siswa yang tidak diimbangi dengan penambahan fasilitas.
“Sekolah ini baru berdiri tahun 2023. Awalnya kami punya sekitar 90 pasang meja kursi. Sisanya pinjam dari sekolah lain. Tapi saat angkatan 2024 masuk, ya sudah, mulai belajar di lantai,” katanya, menggambarkan bagaimana masalah ini berlarut-larut.
Fakta bahwa sekolah harus meminjam dari institusi lain dan akhirnya menyerah pada keadaan menunjukkan adanya celah dalam perencanaan dan pemenuhan sarana pendidikan untuk sekolah negeri baru.
Baca Juga:Kemenag Lebak Bakal Bongkar Akar Masalah Duel Gladiator Siswa MAN vs SMKN 1 Kalanganyar
Saat ini, dari total 664 siswa yang terbagi dalam 18 rombongan belajar, hanya siswa kelas 10 dan 11 yang dapat menikmati fasilitas baru tersebut.
Kekurangan ruang kelas masih menjadi masalah laten, yang untuk sementara "teratasi" karena siswa kelas 12 sedang tidak berada di sekolah.
“Yang bisa tertampung baru kelas 10 dan 11. Untuk kelas 12 tidak ada pembelajaran di sekolah karena mereka sedang PKL (praktik kerja lapangan) di industri sejak awal Juni,” ujarnya.
Pihak sekolah sendiri menunjukkan pemahaman atas situasi ini, menyadari bahwa pengadaan infrastruktur adalah sebuah proses.
“Kami masih butuh tambahan gedung, termasuk ruang belajar untuk kelas 12 dan mushola. Tapi tidak bisa instan,” ujar Muraja.
Namun, kisah SMKN 8 Tangsel ini menjadi preseden penting. Meski pihak sekolah mengapresiasi bantuan yang akhirnya datang, publik tidak bisa mengabaikan pertanyaan mendasar, haruskah sebuah masalah pendidikan yang vital menunggu viral terlebih dahulu untuk mendapatkan perhatian dan solusi yang semestinya?