Scroll untuk membaca artikel
Hairul Alwan
Minggu, 09 Mei 2021 | 13:56 WIB
Ilustrasi wawancara. Bupati Pandeglang Irna Narulita. [Foto: Akun Instagram @irnadimyati / Olah gambar: Suara.com]

SuaraBanten.id - Bahasan soal Pandeglang daerah warisan kolonial tentu belum banyak yang tahu. Pandelang kabupaten paling selatan Banten.

Pandeglang berusia 147 tahun. Mitos dan fakta sejarah Pandeglang tak lepas dari masa Sultan Ageng Tirtayasa.

Pandeglang yang telah berusia 147 memiliki sejarah panjang karena tidak terlepas dari perjalanan kesultanan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa.

Kabupaten yang baru terlepas dari daerah tertinggal pada tahun 2019 ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menuntaskan pembangunan, terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar warga.

Baca Juga: Oknum Ngaku Anggota Polda Banten dan Ancam Tembak Pemotor di SPBU Dibekuk

Faktanya di daerah ini kerap ditemui adanya buruk infrastruktur, minimnya pelayanan kesehatan. Seperti peristiwa terbaru adanya seorang ibu hamil di Kecamatan Sindangresmi harus di tandu beberapa kilometer karena infrastruktur jalan yang buruk.

Terlepas dari kejadian itu, Pandeglang menyimpan sejarah panjang sejak masa Kesultanan Banten sebelum menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sisi barat dan selatan, Kabupaten Lebak di timur, serta Kabupaten Serang di utara.

Sejarah Terbentuknya Pandeglang

Dilansir dari laman situs Kemendikbud, Pada tahun 1618, terjadi perselisihan antara Kesultanan Banten dengan VOC, dikarenakan VOC menginginkan monopoli perdagangan namun Sultan menginginkan perdagangan bebas.

Perselisihan tersebut berimbas dengan ditangkap dan dipenjarakannya Sultan Ageng Tirtayasa di Batavia pada tahun 1680. Selanjutnya, VOC melakukan campur tangan dalam pengangkatan Sultan, sehingga pemerintahan Kesultanan Banten mengalami kekacauan.

Baca Juga: Gegara Posting Ibu Hamil Ditandu, DPRD Kecam Tindakan Dinkes Pandeglang

Pada akhir abad XVIII, VOC dibubarkan yang kemudian diambil alih oleh Kerajaan Belanda melalui Pemerintah Hindia Belanda, yang dibentuk untuk mengurusi pemerintahan kolonial di Hindia Timur.

Pada tahun 1809, Sultan Muhammad memindahkan ibukota Kesultanan Banten ke Pandeglang karena kekacauan yang terus-menerus mendera Banten. Meskipun demikian, pemindahan ibukota tersebut masih belum dapat meredakan ketegangan bahkan memuncak pada tahun 1888, pasca meletusnya Gunung Krakatau di tahun 1883.

Pada tahun 1819, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, Banten diubah menjadi dua kabupaten, yakni Banten Utara dan Banten Selatan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1828, Banten menjadi tiga kabupaten, yakni Banten Utara dengan ibukota Serang, Banten Barat beribukota di Caringin (yang kini menjadi nama desa di Kecamatan Labuan) dan Banten Selatan beribukota di Lebak.

Tahun 1854, Banten dibagi menjadi empat kabupaten dengan menambah satu kabupaten baru, yakni Banten Tengah yang beribukota di Pandeglang. Ketetapan hukum Kabupaten Pandeglang sebagai kabupaten berdasarkan Ordonansi tanggal 1 Maret 1874, yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 1874, yang membawahi sembilan distrik, di antaranya:

Kewedanaan Pandeglang

  1. Kewedanaan Baros
  2. Kewedanaan Ciomas.
  3. Kewedanaan Kolelet
  4. Kewedanaan Cimanuk
  5. Kewedanaan Caringin
  6. Kewedanaan Panimbang
  7. Kewedanaan Menes
  8. Kewedanaan Cibaliung

Di Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874 telah ada pemerintahan. Lebih jelas lagi dalam Ordonansi 1887 No. 224 tentang batas-batas wilayah Keresidenan Banten, termasuk batas-batas Kabupaten Pandeglang. Dalam tahun 1925 dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925 No. IX maka jelas Kabupaten telah berdiri sendiri tidak di bawah penguasaan Keresidenan Banten.

Atas dasar dan fakta-fakta tersebut:

  1. Pada tahun 1828: Pandeglang sudah merupakan Pusat Pemerintahan Distrik;
  2. Pada tahun 1874: Pandeglang merupakan Kabupaten;
  3. Pada tahun 1882: Pandeglang merupakan Kabupaten dan Distrik Kewedanaan;
  4. Pada tahun 1925: Kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri.

Dari keempat kesimpulan itu atas kesepakatan bersama kita telah menentukan 1 April 1874 sebagai Hari Jadi Kota Kabupaten Pandeglang.


Mitos dan Asal Usul Pandeglang

Asal usul penyebutan nama Pandeglang memang banyak versi, dilansir dari laman Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Banten.

Pertama, nama Pandeglang sendiri diambil dari cerita pembuatan gelang yang dibuat oleh pande besi. Material gelang tersebut, diambil dari potongan bagian belakang meriam Ki Amuk yang dilebur menjadi lima pasang gelang.

Latar belakang dipotongnya bagian belakang meriam Ki Amuk yang materialnya dijadikan gelang, karena meriam besar yang berada di Banten Lama, bekas pusat pemerintahan Kesultanan Banten tersebut, awalnya memiliki bentuk yang hampir sama dengan meriam Ki Jagur.

Menurut cerita, sama seperti meriam Ki Jagur yang kini berada di Museum Fatahillah Jakarta, pada bagian pangkal atau belakang meriam Ki Amuk memiliki bentuk jari tangan, yang ibu jarinya diselipkan diantara jari telunjuk dan jari tengah.

Bentuk tersebut, umumnya disimbolkan sebagai bentuk senggama. Sebab, dianggap kurang etis bagi masyakarat di lingkungan Kesultanan Banten yang Islami, maka muncul cerita rakyat akan pembuatan gelang tersebut oleh pande besi yang bernama Ki Buyut Papak yang tinggalnya sekitar 30 Km arah selatan Banten Lama.

Dalam versi kedua ini, menceritakan kisah seorang putri kerajaan yang bersedih karena dilamar orang seorang pangeran tampan dan sakti, namun berprilaku jahat. Putri kerajaan yang bernama Putri Arum ingin menolak lamaran dari pangeran tampan yang bernama Pangeran Cunihin.

Putri kerajaan ingin menolak, namun pengeran Cunihin itu mengancam akan menghancurkan tempat tinggal si putri. Untuk mencari solusi Putri melakukan semedi. Saat proses semedi, Putri Arum didatangi oleh kakek tua bernama Pande Gelang yang akan membantunya membatalkan lamaran Pangeran Cunihin yang akan memperistri Putri Arum.

Kakek Pande Gelang tersebut kemudian menyusun strategi dan menyarankan Putri Arum untuk menerima lamaran tersebut dengan memberikan persyaratan kepada Pangeran Cunihin. Ia harus membuat lubang pada sebuah batu keramat yang tingginya setara dengan tubuh manusia dalam waktu tiga hari dan diletakkan di pesisir pantai.

Selanjutnya, Putri Arum mengajukan persyaratannya kepada Pangeran Cunihin, Ki Pande bergegas membuat sebuah gelang yang akan digunakan untuk menghilangkan kesaktian Pangeran Cunihin.

Gelang tersebut dibuat sebesar batu keramat dan akan diletakkan tepat pada lubangnya.Dengan penuh kesombongan, Pangeran Cunihin pun menyanggupi persyaratan tersebut dan berhasil melubangi batu keramat dan sudah diletakkan di pesisir pantai dalam waktu kurang dari tiga hari.

Seketika, Putri Arum pun merasa gelisah dan khawatir, kemudian Ki Pande menyuruh Putri Arum agar meminta Pangeran Cunihin melewati lubang di batu keramat karena sebelumnya Ki Pande telah meletakkan gelang saktinya pada lubang batu tersebut.

Setelah Pangerang Cunihin melewati lubang batu keramat, seluruh kekuatan dan kesaktiannya pun hilang, dan ia tiba-tiba berubah menjadi seorang lelaki tua. Sementara, Ki Pande pun ikut berubah menjadi seorang lelaki tampan.

Atas kejadian tersebut, Ki Pande pun menjelaskan kepada Putri Arum bahwa ia sebenarnya adalah seorang pangeran yang dikutuk menjadi lelaki tua dan dicuri kesaktiannya oleh Pangeran Cunihin.

Berikut Daftar Nama Bupati Pandeglang dari Masa ke Masa


  • R.T. Aria Tjondronegoro Djayanegara (1848 1849)
  • R.T. Aria Natadiningrat (1849-1870)
  • R.T. Pandji Gondokoesoemo (1870-1870)
  • R.T. Soetadindingrat (1870-1888)
  • R.T. Abdul Gafoer Soerawinangoen (1888-1898)
  • R.T. Soera Adiningrat (1898 -1910)
  • R.T. Mas Kanta Astrawijaya (1910-1914)
  • R.T. Adipati Hasan Kartadiningrat (1914 -1927)
  • Rd. Aria Adipati Soerja Djajanegara (1927-1927)
  • Rd. Aria Adipati Wiriaatmadja (1927-1941)
  • R.T. Mr. Djoemhana Wiraatmadja (1941 -1945)
  • K.H. Tb. Abdoelhalim (1945-1947)
  • Mas Soedibjadjaja (1947-1948)
  • Mas Djaja Rukmantara (1948-1949)
  • Rd. Hola Sukmadiningrat (1949-1956)
  • Rd. Moch. Noch Kartanegara (1956-1957)
  • Rd. Lamri Suriaatmadja (1957-1957)
  • Rd. Muhdas Suria Haminata (1957-1958)
  • Rd. Harun (1958-1959)
  • Muhammad Ebby (1959-1961)
  • Rd. Moch. Sjahra Sastrakusuma (1961-1964)
  • Rd. Akil Achjar Mansjur (1964-1964)
  • Rd. Syamsudin Natadisastra (1964-1968)
  • Drs.Rd. Machfud (1968-1968)
  • Drs. H.Karna Suwanda (1968-1973, (1973-1975),1975-1980)
  • Drs. H. Suyaman (1980-1985), (1985-1990)
  • H.Muhammad Zein BA. (1990 -1995)
  • Drs. H. Yitno (1995- 2000)
  • Dr. H. R. Achmad Dimyati Natakusumah (2000- 2005), (2005- 2009)
  • Drs. H.Erwan Kurtubi MM. (2009 -2010)
  • Asmudji HW (Plt November 2010 - Maret 2011)Drs H. Erwan Kurtubi MM. (2011-2016)
  • Aah Wahid Maulany ( Plt 10 Maret 2016 -23 Maret 2016)
  • Irna Narulita MM. (23 Maret 2016 -23 Maret 2021 ), (26 Maret 2021- Petahana).

Kontributor : Saepulloh

Load More