Scroll untuk membaca artikel
Bangun Santoso
Jum'at, 03 Juli 2020 | 08:01 WIB
Foto penampakan yang disebut-sebut sebagai rumah Kades Sukarame, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten beberapa waktu usai dilanda tsunami. (Foto: Istimewa)

SuaraBanten.id - Daftar 32 calon penerima Hunian Tetap atau Huntap korban tsunami Banten di Desa Sukarame, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang menuai polemik. Hal itu lantaran nama kepala desa justru masuk daftar penerima, sementara warga lain yang menjadi korban tsunami justru tak mendapatkan huntap.

Warga Desa Sukarame kecewa, sebab saat bencana tsunami melanda, rumah sang kepala desa masih berdiri tegak dan hanya mengalami rusak ringan.

Hal itu dibuktikan dengan foto kondisi rumah kepala desa yang sempat diabadikan tak lama setelah bencana tsunami melanda daerah tersebut pada 22 Desember 2018 lalu. Dalam foto yang diperoleh suarabanten.id, terlihat rumah yang bercat putih masih berdiri kokoh. Di halaman ada terhadap seseorang yang tengah memainkan sangkar burung. Informasinya, orang tersebut tak lain adalah pemilik rumah atau kepala desa bernama Jaenal.

Relawan korban tsunami Carita Hasan Basri membenarkan foto tersebut. Usai bencana itu rumah kepala desa masih berdiri tegak dan dalam kondisi masih bagus serta dinilai tak masuk dalam kategori rumah rusak berat. Menurutnya, hanya bagian belakang rumah yang mengalami rusak, bangunannya pun bukan bagian dari rumah utama, melainkan bangunan untuk ternak semut kroto.

Baca Juga: Korban Tsunami Banten Blokir Jalan, Proyek Huntap Bakal Molor dari Jadwal

"Hasil di lapangan memang, dibilang terkena memang terkena (tsumani). Tapi kalau kondisi rumah itu masih berdiri tegak dan boleh dibilang itu masih bagus. Jadi tidak masuk dalam (kategori) rumah rusak berat. Ada kok bukti visualnya. Hasil dari pantauan itu menang yang di bagian belakang saja (yang rusak) dan itu diakui oleh pihak keluarga lurah itu rumah. Tapi masyarakat yang bilang itu bangunan itu diperuntukkan untuk sarang kroto," kata Hasan kepada Suarabanten.id, Kamis (2/7/2020).

Hasan juga mengaku sempat mendampingi tim verifikasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Pandeglang mengecek sejumlah rumah calon penerima Huntap dan rumah warga yang belum terdata, termasuk ke rumah kepala desa.

Tim verifikasi itu turun dari hasil audensi para korban tsunami dengan DPRD dan Bupati Pandeglang Irna Narulita. Sayang hasil verifikasi tersebut, warga tidak mendapatkan tembusan kembali hingga saat ini. Dalam audiensi itu, mereka mengeluhkan banyaknya korban tidak terdata sebagai penerima bantuan Huntap dan bantuan Jaminan Hidup (Jadup).

"Datang tim verifikasi ke rumah-rumah itu dan memang dari tim itu mengatakan bahwa jangan kan rusak, genting pun gak ada yang jatuh, itu untuk rumah kepala desa. Tim pun mengecek ke rumah yang tak terdata. Sempat kami tanyakan hasil dari verifikasi tersebut, mereka bilang sudah disampaikan ke bupati. Kami para relawan dan masyarakat hingga saat ini tidak dikasih tahu hasilnya seperti apa," ungkapnya.

Soal nama kepala desa atau anak kepala yang masuk menjadi calon penerima Huntap masih simpang siur, warga setempat menyebutnya nama anaknya yang tercatat. Namun informasi yang peroleh Suarabanten.id, tercatat nama Jaenal sebagai calon penerima Huntap.

Baca Juga: Korban Tsunami Banten Blokir Jalan, Kepala BPBD: Nggak Perlu Jadi Berita

Sementara upaya konfirmasi terus dilakukan Suarabanten.id kepada Kepala Desa Sukarame Jaenal. Ketika disambangi ke kantornya yang bersangkutan tidak ada di tempat, dihubungi beberapa kali melalui pesan singkat dan sambungan telepon masih belum ada respon.

Namun, Sekretaris Desa (Sekdes) Sukarame Sobri membenarkan data awal sebelum ada tim verifikasi untuk kedua kalinya, ada nama kepala desa masuk sebagai calon penerima huntap. Namun data terbaru ia mengaku belum mengetahuinya.

"Ia katanya (dapat). Belum (terima data terbaru) kan setelah verifikasi dari 35 penerima menjadi 32," kata Sobri.

Menurut dia, rumah kepala desanya juga ikut rusak di bagian belakang akibat tsunami yang disebabkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Namun Sobri tak bisa menilai kategori kerusakan yang dialami rumah kades tersebut.

"Kena yang belakang yang baru dibangun, ada material-materialnya juga dari rangka baja. Gak tahu kalau urusan (kategori kerusakan) saya tidak menilai karena ada tim khususnya," ujarnya.

Sobri juga mengaku tidak masuk dalam tim verifikasi, hanya menunjukkan rumah yang disurvei saja kepada tim verifikasi dari kabupaten. Sehingga ia tidak mengetahui rumah yang masuk dalam kategori rusak ringan, sedang maupun berat.

"Saya cuman menunjukkan saja, kalau verifikasi sih enggak. Menunjukkan tempat-tempatnya saja, kalau ini warung, kalau ini rumah, karena kata yang di atas, rumah ya harus rumah, warung ya harus warung. Jadi saya nunjukin, bukan kami yang menilai," tandasnya.

Diketahui, para korban tsunami di Desa Sukarame kecewa karena tidak masuk dalam daftar penerima Huntap. Di sisi lain ada beberapa calon penerima Huntap tidak sesuai klasifikasi.

Akibatnya, warga yang kesal karena tak masuk menjadi penerima bantuan menggelar aksi protes dengan memblokir akses jalan menuju pembangunan huntap di Kampung Cibenda, Desa Sukarame, Kecamatan Carita pada Selasa (30/6/2020).

Bantuan Tak Merata

Bencana Tsunami Banten yang terjadi di Kabupaten Pandeglang pada 22 Desember 2018 lalu berbuntut persoalan. Sejumlah warga yang menjadi korban terus menanti bantuan dari pemerintah, walaupun bencana itu sudah hampir dua tahun berlalu masih ada saja warga yang belum juga menerima bantuan. Padahal, dana puluhan miliaran rupiah sudah digelontorkan oleh pemerintah ke daerah ini. 

Belakangan diketahui, masih banyak warga terdampak langsung tsunami Banten, masih luput tidak mendapatkan  bantuan Hunian Tetap (Huntap), termasuk bantuan perahu nelayan dianggap tidak merata.

Ramadona, salah satu korban tsunami warga Kampung Cibenda, Desa  Sukarame, Kecamatan Carita mengaku rumah dan warungnya hancur akibat keganasan gelombang air laut. Namun ia dan istrinya masih bersyukur selamat dari maut walau ikut tergulung ombak.  

"Rumah saya hancur, bahkan saya dan istri pun ikut terbawa ombak. Karena posisi saya ada di situ (di dalam rumah), tapi alhamdulillah selamat," kata Maradona saat wawancarai Suarabanten.id, Jumat (3/7/2020).

Karena tidak memiliki tempat tinggal lagi, Ramadona , istri dan anaknya terpaksa menumpang di orang tuanya di Kampung Cibenda. Sementara lokasi warung huni berada di lapangan Cibenda dulu hancur, saat ini hanya dijadikan tempat usahanya.

Entah bagaimana mana awalnya, namanya tidak tercatat dalam daftar korban yang mendapatkan bantuan termasuk tidak mendapatkan Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun oleh pemerintah untuk para korban tsunami saat itu. Upaya protes ke pihak desa setempat yang ia lakukan tidak membuahkan hasil. 

"Saya gak dapat  (Huntara) karena gak ke data. Sempat protes (ke desa) berapa kali yah,"ungkapnya.

Setelah tak mendapatkan Huntara, Ramadona juga harus menerima kenyataan jika ia juga tidak mendapatkan bantuan Huntap. Sebagai korban Ramadona sakit hati karena mendapatkan perlakuan yang berbeda. Padahal tetangganya yang sama seperti dirinya malah mendapatkan bantuan Huntap. Ia mengaku belum mendapatkan keadilan.

"Saya sakit hati, yang lain pada dapat, kenapa saya enggak. Sedangkan satu lokasi kenapa dipilih-pilih, yang mendapatkan dan saya gak. Perasaan saya sudah semburat. Bagi saya belum ada keadilan buat saya. Kenapa yang lain di perhatikan, saya gak, padahal sama-sama kena musibah," katanya.

Pasca bencana itu pula Ramadona tidak tercatat sebagai penerima bantuan Jaminan Hidup (Jadup) dari Kemensos. Setelah mendapatkan pendampingan dari relawan korban tsunami Carita, ia baru mendapatkan Jadup dari Dinas Sosial (Dinsos) Pandeglang sebesar Rp 600 ribu per orang, kurang lebih total bantuan sebesar Rp 1,8 juta untuk dirinya dan keluarga.

Sementara itu, Ketua nelayan Desa Sukarame Seklan mencatat ada sekitar 12 perahu nelayan yang hilang.  Seklan mengatakan, sejak itu pula bantuan untuk para nelayan tidak ada, padahal mereka benar-benar korban tsunami.

"Ada sekitar 12 perahu yang hilang kena tsunami, padahal itu jelas terdampak, jangan kan untuk bantuan perahu, mereka juga tidak tercatat sebagai penerima Jadup. Padahal itu jelas terdampak tsunami," katanya.

Menurutnya, bantuan perahu korban tsunami dari pemerintah menang benar ada, hanya pembagiannya saja yang tidak merata khususnya di Desa Sukarame. Padahal perahu nelayan sudah didata oleh pemerintah. 

"Waktu itu di data perahunya, saya juga lihat datanya di desa, cuman bantuannya gak ada. Tapi yang anehnya itu di samping Desa Sukarame, itu di Cilurah itu banyak bantuan perahu. Ini yang paling menyedihkan  itu Desa Sukarame yang jelas-jelas terdampak dan nelayan mengalami kerugian," ujarnya.

Kontributor : Saepulloh

Load More