SuaraBanten.id - Sebanyak 11 kasus penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak atau BBM subsidi dan BBM penugasan pemerintah (pertalite) terungkap. Dari pengungkapan yang dilakukan Polda Banten itu, ada 15 orang tersangka yang ditangkap.
Wadirkrimsus Polda Banten AKBP Wiwin Setiawan mengatakan, pengungkapan kasus penyalagunaan BBM subsidi tersebut dilakukan Ditreskrimsus Polda Banten dengan Satreskrim Polres jajaran.
"Dari 11 kasus tersebut, Ditreskrimsus Polda Banten menangani 3 kasus, Polresta Serang Kota menangani 1 kasus, Polres Serang menangani 2 kasus, Polresta Tangerang menangani 1 kasus, Polres Lebak menangani 2 kasus, Polres Cilegon menangani 1 kasus, dan Polres Pandeglang menangani 1 kasus," katanya dikutip dari Bantennews (Jaringan SuaraBanten.id), Rabu (31/1/2024).
Berdasarkan hasil pengungkapan itu, polisi juga menyita 10 unit kendaraan roda empat, 7 unit kendaraan roda dua, satu unit kendaraan roda tiga, 2.343 liter BBM subsidi (solar), 5.471 liter BBM khusus penugasan (Pertalite).
Dari hasil pengungkapan tersebut, polisi menyita barang bukti berupa 10 unit kendaraan roda empat, 7 unit kendaraan roda dua, 1 unit kendaraan roda tiga, 2.343 liter BBM subsidi (solar), 5.471 liter BBM khusus penugasan (Pertalite).
Polisi juga menyita surat rekomendasi pembelian BBM subsidi, alat bantu berupa jerigen, pompa, dispenser pertamini, selang, corong, dan nota atau struk pembelian BBM dari SPBU.
"Modus operandi para pelaku adalah membeli BBM subsidi di SPBU dengan menggunakan surat rekomendasi pembelian BBM subsidi yang dikeluarkan oleh Dinas terkait untuk digunakan petani dan nelayan, namun diperjualbelikan kembali kepada yang tidak berhak dengan harga lebih tinggi. Harga BBM Pertalite RP10.000 dijual kembali RP 11.000 – Rp. 12.000," ujarnya.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
"Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 60 miliar rupiah," ujarnya.