Tradisi Menyulut Meriam Masjid Al A'raf Rangkasbitung, Pertanda Buka Puasa

"Mungkin di Banten hanya ada di Rangkasbitung setiap Ramadhan masih lestari tradisi dentuman suara meriam," kata Opik.

Hairul Alwan
Kamis, 06 Mei 2021 | 17:27 WIB
Tradisi Menyulut Meriam Masjid Al A'raf Rangkasbitung, Pertanda Buka Puasa
Opick penyulut meriam di Masjid Agung Al Araf Rangkasbitung [Antara]

SuaraBanten.id - Tradisi menyulut meriam di Masjid Agung Al Araf Rangkasbitung, Kabupaten Lebak sebagai tanda pemberitahuan berbuka puasa masih terus dilakukan.

Penyulut meriam di Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung merasa senang dan ikhlas menerima honor Rp100 ribu untuk membunyikan dentuman sebagai pertanda tibanya umat Islam berbuka puasa warga sekitar.

"Mungkin di Banten hanya ada di Rangkasbitung setiap Ramadhan masih lestari tradisi dentuman suara meriam," kata Opik, seorang petugas penyulut meriam di Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung, Lebak, Kamis (6/5/2021).

Dentuman suara meriam yang dibunyikan Opik bisa terdengar hingga 10 kilometer untuk menyampaikan informasi bahwa tibanya umat Islam di tiga kecamatan antara lain Rangkasbitung, Cibadak dan Kalanganyar untuk berbuka puasa.

Baca Juga:4 Stasiun KRL ke Lebak Tak Layani Penumpang, Termasuk Rangkasbitung

Dibunyikannya dentuman suara meriam itu dulunya dibunyikan lantaran sejak zaman dahulu tidak ada media elektronika untuk menyebbar informasi telah tibanya waktu berbuka puasa.

Karena itu, kata dia, satu-satunya dentuman meriam yang bisa dijadikan sebagai pertanda tibanya waktu umat Islam untuk berbuka puasa Ramadhan.

"Tradisi dentuman suara meriam di Rangkasbitung berlangsung sejak tahun 1928 hingga kini masih dipertahankan," katanya.

Ia mengaku awalnya merasa ketakutan saat menyulut api dimasukkan ke lubang meriam sehingga mengeluar dentuman suara keras.

Namun, kata dia, saat ini sebagai penyulut meriam selama 26 tahun merasa tetap senang, meski berisiko ada kecelakaan.

Baca Juga:Sejarah Kabupaten Lebak Berdiri, Dulu Berjuluk Jagat Kidul Banten

"Bahkan petugas penyulut bernama Sai pada 1956 bagian tangannya terputus ketika hendak menyulutkan meriam locok," kata Opik.

Namun, kata dia, meriam locok sudah diganti dengan pipa dan panjang dua meter, yang juga menggunakan bahan peledak dari karbit dan air.

Petugas penyulut meriam juga tidak dilengkapi alat peredam suara dan berpotensi mengalami gangguan pendengaran, karena bisa merusak bagian gendang telinga akibat hentakan ledakan keras.

Apabila gendang telinga itu mengalami gangguan, katanya, tentu secara otomatis akan berdampak terhadap gangguan pendengaran telinga atau torek.

"Kami menyulut meriam itu tentu dengan hati-hati mulai mengisi bahan peledak dari karbit hingga menyulut api ke lubang meriam agar tidak mengalami kecelakaan," katanya.

Menurut dia, dirinya merasa senang menyulut hingga terdengar dentuman suara meriam, karena banyak masyarakat setempat yang berkumpul di masjid dapat buka puasa bersama.

Selain itu juga banyak orang tua hingga kalangan anak-anak muda rindu untuk mendengarkan dentuman suara meriam yang berlangsung selama satu sampai dua detik itu.

Mereka orang tua dan kalangan generasi berkumpul di depan masjid untuk mendengar dentuman suara meriam.

Dentuman suara meriam itu, kata dia, hanya setiap tahun satu kali dilakukan pada Bulan Ramadhan dan masyarakat sangat merindukan tradisi unik tersebut.

"Kami tetap berani melaksanakan tugas yang berisiko, karena tidak ada petugas lain yang menjadi penyulut meriam," pungkas Opik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini