Hari Raya Waisak dan Sejarah Buddha di Banten

Tri Suci Waisak yang mengisahkan lahirnya Pangeran Siddharta, Pangeran Siddharta menjadi Buddha, serta wafatnya Buddha Gautama Parinibbana.

Hairul Alwan
Rabu, 26 Mei 2021 | 14:03 WIB
Hari Raya Waisak dan Sejarah Buddha di Banten
Ketua Sangha Dhammaduta Indonesia, Bhikkhu Tejavaro Thera beribadah di Vihara Hemadhiro Mettavati, Jakarta, Selasa (25/5/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraBanten.id - Peringatan Hari Raya Waisak kerap kali dilakukan oleh umat Buddha yang berada di provinsi paling barat Pulau Jawa itu. Sejarah jejak Buddha di Banten tantu menjadi cerita yang menarik juga untuk diketahui.

Dalam tulisan ini, SuaraBanten.id mencoba mengulas seputar Sejarah Agama Buddha di Banten, sejarah Hindu Buddha Banten, sejarah masuknya Hindu Buddha Banten, serta sejarah penyebaran Hindu Buddha di Banten.

Tulisan ini juga akan mengulas Tri Suci Waisak yang mengisahkan lahirnya Pangeran Siddharta, Pangeran Siddharta menjadi Buddha, serta wafatnya Buddha Gautama Parinibbana.

Umat Buddha Banten merayakan Hari Tri Suci Waisak pada hari ini Rabu (26/5/2021). Dilansir dari berbagai sumber, sejarah Waisak dan jejak sejarah agama Buddha di Banten.

Baca Juga:Vihara Thay Hin Bio Tiadakan Ritual Bersama di Hari Raya Waisak

Waisak merupakan hari suci agama Buddha. Perayaan dilaksanakan pada dalam bulan Mei waktu terang bulan untuk memperingati tiga peristiwa penting. Pertama, lahirnya Pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623 sebelum Masehi.

Kedua, Pangeran Siddharta menjadi Buddha dan mencapai Penerangan Agung pada usia 35 tahun pada tahun 588 sebelum Masehi. Ketiga, wafatnya Buddha Gautama parinibbana di Kusinara pada usia 80 tahun pada tahun 543 S.M.

Tiga peristiwa itu dinamakan Trisuci Waisak. Sedangkan keputusan merayakan Trisuci ini dinyatakan dalam Konferensi Persaudaraan Buddhis sedunia yang pertama di Sri Lanka pada tahun 1950.

Perayaan Hari Waisak di Indonesia mengikuti keputusan WFB. Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, desa Borobudur, kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah.

Sedangkan, Rangkaian perayaan Waisak nasional secara pokok sebagai berikut;

Baca Juga:Perayaan Waisak di Vihara Dhammasoka Banjarmasin, Ibadah Digelar Live Streaming

1. Pengambilan air berkat dari mata air (umbul) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api abadi Mrapen, Kabupaten Grobogan.

2. Ritual "Pindapatta", suatu ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/biksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.

3. Samadhi pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari.

Hari waisak ini juga dimanfaatkan oleh umat Buddha untuk menghormati dan merenungkan segala sifat luhur dari Tiratana yaitu buddha, dharma, dan sangha.

Sejarah Agama Buddha di Banten

Banten atau kesultanan Banten adalah kerajaan bercorak Islam. Banten memiliki sejumlah peninggalan arkeologi yang membuktikan bahwa wilayah tersebut sudah ditempati oleh manusia purba sejak zaman batu.

Dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten, para arkeolog dan sejarawan mencatat, Banten sudah ditinggali sejak zaman purba. Bukti Banten sudah ditempati sejak zaman batu adalah ditemukannya artefak kuno berupa alat batu di situs Cigeulis, penemuan manhir di lereng Gunung Pulosari, Arca Sanghyang Dengdek.

Berdasarkan benda-benda peninggalan tersebut dapat diketahui Banten mendapat pengaruh kebudayaan dari agama Hindu dan Budha. Perkiraan pengaruh Hindu Buddha tersebut masuk ke Banten sebelum abad ke-5 dengan ditemukannya prasasti Munjul yang berhuruf Pallawa atau India Kuno.

Prasasti itu ditemukan pada tahun 1947 di aliran Sungai Cidanghyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Prasasti Munjul berhuruf Palawa dan berbahasa Sanskerta.

Dilansir dari situs Direktorat Jendela Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang disusun oleh Rico Fajrian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, menyebutkan, Banten telah memiliki kebudayan yang cukup tinggi. Inventarisasi dan penelitian peninggalan purbakala yang di mulai sejak abad ke -19.

Hal itu diketahui setelah seorang kontrolir Belanda pada tahun 1896 melaporkan adanya temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek, Bayah yang kemudian dikenal sebagai bangunan punden berundak Lebak Sibedug.

Kemudian N.J Karom dalam bukunya Rapporten van der Oudheikundingen Dienst in Nederlansch Indie tahun 1914 menyatakan bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang dan peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang, beberapa kapak batu dari hasil penggalian arkeologis di pamarayan (Kolelet) dan patung tipe polinesia di tenjo Sanghyang Dengdek

Pendirian monument-monumen megalitik dengan beragam bentuk seperti punden berundak, arca, menhir, dolmen, dan batu bergores turut memperkaya budaya dan tradisi masyarakat Banten pada masa lalu. Kemudian kebudayaan Banten Kemudian semakin berkembang setelah bersentuhan dengan kebudayan luar.

Pengaruh budaya dari luar tersebut datang dari india yang membawa agama Hindu dan Budha. Di samping membawa pengaruh agama Hindu dan Budha, masuknya pengaruh India juga berdampak pada system sosial dan pemerintahan di Nusantara, ditandai dengan berdirinya kerajaan kerajaan.

Salah satu kerjaan Hindu yang pernah ada di Banten ialah kerajan Banten Girang yang diperkirakan ada pada sekitar abad ke-10 sampai dengan abad ke-16. Masuknya pengaruh Islam kemudian berdampak pada mundurnya pengaruh Hindu – Budha di Banten.

Kerajaan Banten Girang berada di bawah penguasa Islam,yang kemudian mendirikan kerajaan di sekitar Teluk Banten. Pusat kotanya dikenal dengan nama Surosowan yang kini disebut Banten Lama. Kerajaan Islam Banten ada dari abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.

Kontributor : Saepulloh

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak