SuaraBanten.id - Sejarah Gunung Krakatau meletus tahun 1883. Letusan dahsyat Gunung Krakarau hingga menyebabkan Tanjung Priok banjir 20 meter dan daratan Tangerang hilang disebabkan Tsunami.
Letusan dahsyat Gunung Krakatau terjadi pada tanggal 25-27 Agustus 1883. Sejarah Gunung Krakarau meletus tidak banyak diketahui oleh masyarakat bahwa letusan tersebut ternyata berasal dari Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau meletus itu telah memuntahkan seluruh isi perut gunung sehingga mampu memporak-porandakan bahkan melenyapkan kehidupan yang ada di daerah-daerah ujung Pulau Jawa dan Sumatra.
Akibat dari letusan itupun terasa hingga ke negara lain seperti Australia, Singapura, Malaysia bahkan Eropa.
Baca Juga:Viral Pemotor Plat B Masuk Tol Tangerang-Merak, Warganet: Korban Maps
Dikutip dari berbagai sumber, selama 3 hari berturut-turut Gunung Krakatau menyemburkan apa yang disimpannya selama ini. Abu, batu apung, batu lumpur panas bertebaran bukan hanya di gugusan pulau itu tetapi juga hingga ke ujung selatan Pulau Sumatra dan ujung utara dan barat Pulau Jawa.
Di samping itu juga, laut yang diguncang oleh ledakan itu selama 3 hari mengakibatkan gelombang pasang tinggi dengan air panasnya yang mematikan makhluk yang ada.
Teluk Betung di Lampung, Anyer dan Caringin di Banten musnah seketika.
Bunyi ledakan terdengar di seluruh nusantara sementara gelombang pasang melanda seluruh pantai utara dan barat Pulau Jawa. Kapal api “Berauw” yang sedang berlabuh di Teluk Betung terlempar sejauh 3.300 meter dan masuk ke dalam sungai.
Korban yang tercatat akibat letusan diperkirakan lebih dari 36.000 jiwa.
Baca Juga:Sejarah Banten Gempa 9 SR dan Gunung Krakatau Meletus di Abad 17
Korban tersebut dapat dikatakan disebabkan oleh gelombang panas saat setengah dari gunung tersebut runtuh dan tenggelam ke dasar laut.
Daerah paling selatan Pulau Sumatra adalah daerah yang sangat menderita akibat letusan Krakatau.
Sepanjang pantai terutama di Teluk Betung tidak ditemukan adanya kehidupan kembali, tidak terlihat satu pun warga yang masih hidup.
Sementara, jalur komunikasi saat itu terputus.
Begitu juga dengan daerah Banten, sejauh mata memandang yang tampak hanyalah hamparan pasir.
Daerah Merak hingga Caringin musnah, mercusuar tak ada lagi, sehingga tidak ada alat pemandu pelayaran. Mayat berserakan di sepanjang pantai, tidak ada tenaga untuk memakamkan mereka.
Keadaan Pelabuhan Tanjung Priuk juga tidak lebih baik dari daerah lain. Seluruh Pelabuhan tergenang air, sehingga tidak berfungsi lagi.
Sebagian ketinggian air telah mencapai 20 meter.
Karena itu semua pegawai menyelamatkan diri menjauh dari keadaan yang tidak bersahabat itu. Kampung pasir di uncum Jawa (Tangerang) bahkan lenyap hingga Ketapang di Tanjung Kail. Juga daerah Sembilangan laut, Cilincing lenyap ditelan ombak.
Beberapa Pulau di Kepulauan Seribu juga lenyap dari permukaan air laut.
Selat Sunda yang biasa ramai dilayari oleh berbagai kapal, tiba-tiba berubah menjadi petaka bagi kapal-kapal yang sedang berada di perairan itu.
Sebagaimana laporan dari para nahkoda kapal yang ditujukan kepada Gubernur Jendral, menjadi saksi akan kedahsyatan letusan gunung tersebut.
Kapal tidak dapat meneruskan perjalanan maupun kembali ke tempat asal. Beberapa kapal terjebak dalam gelombang pasang yang panas, hujan abu, batu apung bahkan terkena sambaran petir.
Mereka dengan sangat terpaksa harus melakukan pendaratan secepatnya di pelabuhan-pelabuhan terdekat. Malangnya pelabuhan tersebut porak poranda karena letusan serta dihantam ombak hingga habis.
Keadaan seperti ini membuat pemerintah pusat di Batavia mengambil alih untuk memberikan pertolongan kepada korban di daerah-daerah yang terkena letusan.
Tapi sulit bagi pemerintah untuk memprioritaskan daerah mana yang perlu mendapatkan bantuan terlebih dahulu. Untungnya banyak pihak yang bersedia memberikan pertolongan.
Beras datang dari berbagai daerah, dokter datang dari Batavia, perbaikan transportasi, memperbaiki komunikasi di rumah-rumah penduduk, gedung-gedung pemerintah dan jalan-jalan utama.
Tercatat dalam sejarah bahwa letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 ini merupakan letusan terparah.
Sampai kini sisa-sisa letusan itu diabadikan dalam bentuk tugu peringatan di daerah Lampung Selatan.