SuaraBanten.id - Dampak bencana tsunami Banten pada 22 Desember 2018 masih dirasakan oleh para korban hingga saat ini.
Banyak warga yang masih kehilangan pekerjaan setelah usaha mereka rusak diterjang dahsyatnya gelombang tsunami yang disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau.
Salah satunya pasangan suami istri (pasutri) Umamah dan Ade Sadikin. Sebelum diterjang tsunami, Umamah memiliki usaha pengolahan ikan. Sedangkan suaminya memiliki usaha isi ulang, alat tangkap ikan berupa bagan. Kini rumah dan tempat usahanya sudah tidak tersisa.
Umamah menyebutkan, kerugian akibat bencana itu mencapai miliaran rupiah. Sebab untuk alat isi ulang harganya mencapai Rp 1,2 miliar dan juga bagan mencapai Rp 30 juta-an. Itu belum termasuk rumah mereka yang hancur.
Baca Juga:Tsunami Sering Terjadi di Desember? Ini Data BMKG
Pasca bencana tsunami Banten, Umamah dan suaminya menetap di Hunian Sementara (Huntara) di Kampung Pasir Malang, Desa Sumber Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang.
Selama di Huntara perekonomian mereka belum pulih. Suaminya kini belum memiliki penghasilan tetap.
Untuk menyambung hidup, Umamah terpaksa menjalankan usahanya di bidang pengolahan ikan.
Ikan yang dibeli di pasar diolah Umamah dibuat otak-otak dan berbagai pepes ikan. Umamah memulai pekerjaannya dari pukul 6 pagi hingga 5 sore.
"Mulai bekerja dari jam 6 pagi selesai jam 5 sore. Karena saya bantu suami sebab suami saya lagi nganggur," ungkap Umamah saat berbincang-bincang dengan SuaraBanten.id—grup Suara.com—di Huntara Sumber Jaya, Rabu (23/12/2020).
Baca Juga:Terdampak Bencana, Cadangan Beras di Dinsos Pandeglang Habis
Saat SuaraBanten.id berkunjung, suaminya baru bekerja diajak oleh anaknya bekerja di PLTU 2 Labuan.
Sementara otak-otak dan pepes ikan yang dibuat Umamah dijual oleh saudaranya. Dari hasil penjualan itu, diakuinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Tak jarang ia meminjam uang kepada orang lain karena harus membiayai anaknya yang tengah kuliah di salah satu universitas di Kota Serang.
"Kalau di bilang cukup ya gak cukup. Kalau modalnya Rp 200 ribu saya dapat Rp 100 ribu keuntungan. Terus pakai kebutuhan sehari-hari. Di puter-puter kadang-kadang ngutang. Sebenarnya gak cukup, kecuali anak gak kuliah," lirihnya.
Bencana tsunami Banten itu, diungkapkan Umamah membuat hidupnya kembali ke titik nol. Sebab semua harta bendanya lenyap.
Kendati begitu, Umamah ikhlas dan lapang dada atas musibah yang harus ia dan keluarga derita.
"Kalau gak kayak gini suami saya kan nganggur. Pokoknya hidup saya sekarang kembali ke nol. Setelah tsunami semua hancur. Tapi saya ikhlas ridho harusnya mungkin begitu. Kalau di total kerugian miliaran saya mah," ujarnya.
Umamah menceritakan suaminya memiliki mesin isi ulang yang disebutkan paling ramai dibeli oleh agen-agen kecil.
Menurutnya alat tersebut didapat dari bantuan pemerintah. Harga mesin tersebut sebesar Rp 1,2 miliar. Mesin tersebut dapat mengolah air laut bisa siap minum.
"Dari dulu saya jualan seperti ini, suami saya juga jualan. Isi ulang dapat bantuan dari pemerintah. Harganya Rp 1,2 miliar. Perusahaan itu sudah milik suami cuman tidak bisa dijualbelikan," ungkapnya.
Akses Jalan
Pasturi ini memiliki empat orang anak, tiga diantaranya sudah berumah tangga kecuali putra sulungnya yang masih duduk di bangku kuliah. Namun ia masih beruntung sebagian perabotannya dibelikan anak-anaknya.
Umamah harus tetap bertahan tinggal di Huntara kendati kondisinya sangat memprihatikan.
Jika Hunian Tetap (Huntap) belum bisa dibangun oleh pemerintah, dia meminta kepada pemerintah untuk memperhatikan akses jalan ke Huntara karena kondisinya licin dan becek.
"Banyak keluh kesah selama tinggal di Huntara, terutama masalah jalan mau ke kampung. Kalau pun Huntap-nya belum dibangun tolong lah perbaiki jalannya," pintanya.
Nasib yang tidak jauh berbeda juga dialami Durja. Sejak tinggal di Huntara bersama ratusan korban tsunami Banten lainnya, Durja belum memiliki pekerjaan yang tetap hingga kini.
"Saya sebagai nelayan, pas tsunami bagan saya hancur, (perahu) motor juga hancur. Pas pindah ke sini sudah total gak punya kerjaan," terangnya.
Selama tidak bekerja, Durja hanya bisa mengharapkan bantuan dari para donatur. Kadang ia diajak oleh orang lain untuk membuat bagan, itu pun tidak tentu.
"Kadang ada sumbangan dari para donatur yang ada buat sedikit-sedikit menambah kehidupan sehari-hari. Kadang kuli bikin bagan ke orang lain itu pun kalau ada yang nyuruh," ungkapnya.
Tak Ada Tempat Tinggal
Pria yang menjadi nelayan sejak tahun 1976 itu memiliki tujuh anak. Semuanya sudah memiliki keluarga masing-masing.
Terakhir anak sulungnya Samsul Riyadi yang baru saja menikah ikut tinggal di Huntara.
Tinggal bersama anak yang sudah berkeluarga dirasakan tidak cukup karena luas Huntara tidak begitu luas.
Akibatnya, putranya itu menempati Huntara milik orang lain yang kosong karena ditinggalkan pemiliknya.
"Satu yang bontot masih tinggal bersama saya. Sekarang tinggal di Huntara lain karena huntara ini sempit. Terpaksa saya pinjam punya orang, karena kebetulan di sana kosong," terangnya.
Anaknya terpaksa harus tinggal di Huntara milik orang lainnya, sebab Samsul belum mampu membuat rumah.
Apalagi pendapatan sebagai nelayan yang bekerja kepada orang hanya mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
"Kerjanya nelayan, itu pun kerjanya sama orang lain. Jadi belum bisa buat rumah," ujarnya.
Durja menjelaskan, sebagian Huntara Sumber Jaya banyak ditinggalkan pemiliknya karena Huntara di Blok BRI dan Mandiri sudah tidak bisa gunakan karena longsor setelah di terjang hujan.
Menurutnya sudah tak kayak ditinggali. Sehingga sebagian korban tsunami Banten lainnya memanfaatkan Huntara yang ditinggalkan pemiliknya.
"Ada yang longsor dan kondisinya tidak layak. Apalagi yang (Huntara) yang lima baris udah enggak ke isi sama orang. Pada sudah pindah orangnya ke rumah di kampung," tandasnya.
Kontributor : Saepulloh