SuaraBanten.id - Musim Kekeringan yang terjadi tahun ini dirasakan Petani di Desa Kali Biru, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Bahkan, petani di wilayah tersebut harus merugi hingga puluhan juta. Kerugian itu terjadi sejak musim kemarau melanda wilayah ini sejak dua bulan lalu.
Kondisi tersebut dialami salah satu petani di wilayah tersebut, Tinang (60). Warga Desa Kali Biru ini sudah mulai bertani sejak umur 20 tahun dan hanya menggantungkan nasib dari hasil pertanian, berupa sayur mayur yang digarapnya.
Meski terik matahari sangat terasa menyengat hingga ke kulit, hal itu tidak menjadi hambatan bagi Tinang. Di atas lahan seluas 3000 meter ini ia berusaha menghidupi keluarganya dengan bercocok tanam.
"Saya sudah sejak umur 20 tahun disini. Sebelumnya saya berdagang sayur, tetapi sekarang saya memilih untuk bertani," ungkap Tinang pada Suara.com di sawah garapannya Rabu (10/7/2019).
Baca Juga:Situ Cijoro Kekeringan, Ratusan Hektare Sawah di Lebak Terancam
Biasanya Tinang tidak sendiri dalam menggarap lahan yang ia tanami mentimun, oyong dan kacang panjang. Namun begitu saat kemarau tidak ia lebih sering sendiri untuk menggarap semuanya.
"Bisanya sama kuli (pekerja) tapi kalau sama mereka saya harus mengupah (membayar) mereka perharinya seratus ribu," ujarnya.
Dia bercerita, untuk menggarap sayur mayur yang ia tanam, tidak sedikit uang yang harus dia keluarkan. Namun begitu, saat musim kemarau tiba, ia mengaku mengalami kerugian hingga puluhan juta.
"Modal untuk menanam ini semua bisa Rp 30 juta. Biasanya dari modal segitu saya bisa dapat keuntungan Rp 10-12 juta. Tapi kalau musim kemarau ini ya rugi," ucap dia.
Namun begitu kerugian yang ia alami saat ini tidak mengubah niatnya agar tetap berkebun. Tinang mengaku pasang surut dalam kehidupan itu hal biasa.
Baca Juga:Ribuan Hektare Sawah di Gunungkidul Gagal Panen, Petani Rugi Rp 28 Miliar
"Tetap bertani, kalau rugi ya berai belum milik (rejeki). Kalau milik pasti saya bisa dapat rejeki," ucapnya.
Tidak berbeda dengan Tinang, Sugandi juga mengatakan hal sama. Sulitnya mendapat air menjadi permasalahan utama dalam bertani, bahkan dirinya harus rela merogoh kocek untuk membeli air agar tanamannya tetap tersiram.
"Ya musim kemarau begini memang sulit air. Biasanya kami membeli air dari kali sana (menyewa disel untuk menyedot air)," ujarnya.
Namun begitu dirinya mengaku tak dapat berbuat banyak, pasalnya kala musim kemarau tiba para petani di tempat ini pasti mengalami masa sulit.
"Sudah biasa. Ya mau gimana lagi, hidup kita dari bertani. Kalau memang rejeki ya nanti buahnya bisa kita panen," tukasnya.
Namun begitu Tinang mengaku tak dapat berbuat banyak dari kekeringan ini, ia hanya berupaya membuat galian sebagai sumber air. Meskipun modal yang ia keluarkan hingga 30 juta untuk sekali menanam, dirinya akan tetap bertani agar dapat melanjutkan hidup.
"Mau diapain lagi. Memang sudah musimnya kemarau. Tapi saya udah buat bor (galian air) sedalam 12 meter disini, emang agak susah tapi ini cara satu satunya agar bisa tetap bertani," ucapnya.
Meminta Bantuan Pemerintah Daerah
Tinang berharap hambatan yang dihadapinya dan para petani lain di desa bisa mendapat bantuan dari Pemerintah Daerah. Terlebih lagi tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari hasil bertani," uapnya.
Bantuan yang dimaksud Tinang, tidaklah lain berupa bibit kebutuhan pokok yang dianggap harganya melambung tinggi dan juga alat penyedot air (diesel) untuk dapat tetap bertani.
"Bibitnya mahal banget pak, terus kalau mau nyiram juga harus pake pompa penyedot yang kita sewa. Semoga pemerintah dapat membantu meringankan beban kami," jelasnya.
Kontributor : Muhammad Iqbal