Scroll untuk membaca artikel
Hairul Alwan
Rabu, 28 Juli 2021 | 12:55 WIB
Sejumlah wisatawan beraktifitas di kawasan wisata religi Kesultanan Banten di Kasemen, Serang, Banten, Minggu (7/6). [ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman]

SuaraBanten.id - Mungkin tak banyak orang tahu tentang sejarah berdirinya kerajaan Banten, Bermula dari penyebaran Islam hingga adu ayam sakti.

Jauh sebelum terbentuk Provinsi Banten yang merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat pada tahun 2.000, Banten sudah dikenal masyarakat dunia.

Banten dikenal tak lepas dari sejarah Kesultanan Banten. Dalam ulasan SuaraBanten.id kali ini, banyak kisah yang dirangkum tentang sejarah Kesultanan Banten.

Mulai dari kiprah penyebaran agama Islam di Banten oleh Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati hingga diturunkan ke putranya Maulana Hasanudin.

Baca Juga: Ngeri! Peti Mati Misterius Tergeletak di Pinggir Jalan, Warga Ketakutan

Awalnya Banten merupakan yang dipimpin Bupati Prabu Sorosoan yang merupakan kakek Maulana Hasanudin dan sepeninggalnya diwariskan kepada anaknya Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang beragama Hindu.

Hubungan Prabu Pucuk Umun dan Maulana Hasanudin sangat buruk saat Kadipaten Banten dipimpin olehnya. Prabu Pucuk Umun bersikukuh mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (Agama Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten.

Kisah adu ayam sakti, Berdirinya Kesultanan Banten, hingga cikal bakal suku Baduy diulas dalam tulisan ini. Silahkan simak selengkapnya:

Jauh sebelum menjadi Provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000, nama Banten sudah lama dikenal masyarakat dunia. Pasalnya, Banten adalah sebuah daerah menjadi rute pelayaran dan kota pelabuhan yang sangat ramai dari jalur perdagangan internasional sejak dulu.

Hal ini didukung oleh posisinya yang strategis, yaitu di ujung barat Pulau Jawa, lebih tepatnya di Tanah Sunda, Provinsi Banten.

Baca Juga: Sejarah Trah Dinasti Ratu Atut Chosiah di Banten dan Peran Sang Ayah Chasan Sochib

Sebelum agama islam berkembang, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hinduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu.

Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanuddin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.

Dikutip dari Dinas Pariwisata Provinsi Banten, setelah menjadi raja atau sultan pertama di Banten sultan Maulana Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten, karena beliau adalah seorang Sultan yg pertama kali menjadi penguasa di kerajaan Islam di Banten.

Bahkan ia mendapatkan gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin, gelar tersebut di persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan pada masa itu Prabu Surasowan menjabat menjadi Bupati di Banten.

Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah seorang sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.

Setelah kakeknya meninggal, kini pemerintahan Banten diwariskan kepada anaknya, yakni Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang menganut Agama Hindu.

Pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan bupati di Cirebon, karena Pangeran Cakrabuana wafat.

Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi bupati di Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati sedangkan puteranya Hasanuddin memilih menjadi guru agama islam di Banten, bahkan beliau di kenal memiliki banyak santri di wilayah Banten, lalu beliau mendapatkan gelar Syaikh menjadi Syaikh Hasanuddin.

Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun dan Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah buruk, Prabu Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten.

Adu Ayam Sakti

Namun pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin dengan beradu ayam dan memilih tempat adu kesaktian ayam di lereng Gunung Karang, karena di anggap sebagai tempat yang netral.

Saat pertandingan ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa.

Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.

Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh.

Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.

Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan semangat kepada jagoannya masih-masing. Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa.

Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Pertaruangan itu dimenangkan oleh jago Maulana Hasanuddin.

Akhirnya, Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.

Cikal Bakal Suku Baduy

Setelah itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa.

Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu.

Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy. Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana Hasanuddin.

Berdirinya Kesultanan Banten

Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.

Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.

Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon.

Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.

Kini Banten telah diakui di berbagai wilayah bahkan sampai ke daerah Eropa maupun Asia, Banten juga sempat disebut sebagai Amsterdam sebab Banten merupakan pusat perdangan terbesar.

Kontributor : Saepulloh

Load More