Scroll untuk membaca artikel
M. Reza Sulaiman | Lilis Varwati
Selasa, 11 Agustus 2020 | 16:56 WIB
Ilustrasi keluarga, orangtua dan anak perempuannya. (Shutterstock)
Ilustrasi curhat. [shutterstock]

"Kalau kita memandang perasaan secara netral, anak mau sedih, diam, marah, kita bisa tangkap bahwa ada informasi di dalamnya. Sehingga tidak lagi beranggapan semua harus happy. Itu tidak masuk akal. Biarkan dia cemas, takut tapi izinkan juga dia untuk menyampaikan. Karena perasaan tidak diterima jadi merepotkan," ujarnya.

Menurut Jiemi, jika emosi masih dipandang secara baik, buruk atau benar salah, maka bisa terjadi sanggahan dari orangtua tethadap emosi yang dirasakan anak.

"Selama ini memandang emosi pakai kategori benar, salah, baik, buruk. Kalau bahagia, surprise, kita pandang emosi positif. Sedangkan sedih, marah, kecewa kita pandang emosi negatif," tambahnya.

Kalau cara pandang seperti itu, saat anak menunjukan kesedihan kita bisa tidak setuju atau marah.

Baca Juga: Anak Bahagia, Perkembangan Otak dan Sistem Imun Bakal Maksimal

"Kenapa sedih harusnya bersyukur'. Mari anggap emosi itu setara dulu. Sedih senang, marah itu semua dibutuhkan, ada informasi dibalik itu," tuturnya.

Load More