Scroll untuk membaca artikel
M. Reza Sulaiman | Lilis Varwati
Selasa, 11 Agustus 2020 | 16:56 WIB
Ilustrasi keluarga, orangtua dan anak perempuannya. (Shutterstock)

SuaraBanten.id - Hampir setiap orangtua ingin terlibat dalam kehidupan anak. Salah satunya, dengan menanyakan bagaimana anak menjalani hari-harinya.

Sayangnya, hambatan muncul saat anak enggan bercerita. Apa yang bisa dilakukan orangtua?

Psikiater mengatakan salah satu tips membuat anak lebih terbuka ke orangtua adalah dengan tidak menjadi reaktif. 

dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ menyarankan, orangtua hanya perlu mendengarkan dan tidak bersikap reaktif terhadap apa pun cerita anak.

Baca Juga: Anak Bahagia, Perkembangan Otak dan Sistem Imun Bakal Maksimal

"Cobalah untuk sadar dulu dan tidak reaktif, mau cerita itu seaneh apa pun. Kita ajak duduk dulu, dengarkan. Sehingga anak akan merasa aman, dia bisa bercerita lebih enak," kata Andreas dalam webinar, Minggu (26/7/2020).

Andreas mengatakan, sikap reaktif orangtua yang dimaksudkan sebagai bentuk perhatian justru membuat anak tidak nyaman bercerita.

Sehingga pada momen berikutnya, anak menjadi enggan untuk kembali menyampaikan pengalamannya.

"Dalam proses kita komunikasi pasti dua arah, ada aksi dan reaksi. Walaupun reaksi perhatian, tapi reaksi berlebihan yang mengejutkan itu yang membuat anak gak nyaman. Itu yang kadang membuat orangtua kadang memaksa anak untuk bercerita. Tapi kalau dipaksakan akan membuat anak jadi gak nyaman," tuturnya.

Dalam webinar yang sama, psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ menyampaikan bahwa orangtua perlu memandang emosi secara netral ketika menghadapi cerita anak.

Baca Juga: Rentan Covid-19, Anies Minta Orang Tua Tidak Bawa Anaknya Keluar Permukiman

Ia menjelaskan, perlu dipahami bahwa emosi bahagia atau pun sedih keduanya sama diperlukan oleh tubuh. Sehingga tidak ada stigma atas emosi negatif atau pun positif.

Ilustrasi curhat. [shutterstock]

"Kalau kita memandang perasaan secara netral, anak mau sedih, diam, marah, kita bisa tangkap bahwa ada informasi di dalamnya. Sehingga tidak lagi beranggapan semua harus happy. Itu tidak masuk akal. Biarkan dia cemas, takut tapi izinkan juga dia untuk menyampaikan. Karena perasaan tidak diterima jadi merepotkan," ujarnya.

Menurut Jiemi, jika emosi masih dipandang secara baik, buruk atau benar salah, maka bisa terjadi sanggahan dari orangtua tethadap emosi yang dirasakan anak.

"Selama ini memandang emosi pakai kategori benar, salah, baik, buruk. Kalau bahagia, surprise, kita pandang emosi positif. Sedangkan sedih, marah, kecewa kita pandang emosi negatif," tambahnya.

Kalau cara pandang seperti itu, saat anak menunjukan kesedihan kita bisa tidak setuju atau marah.

"Kenapa sedih harusnya bersyukur'. Mari anggap emosi itu setara dulu. Sedih senang, marah itu semua dibutuhkan, ada informasi dibalik itu," tuturnya.

Load More