Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Sabtu, 09 Mei 2020 | 04:00 WIB
Warga saat melaksanakan riungan Kupat qunutan sebelum dibagikan kepada warga lain. [Suara.com/Saepulloh]

"Makanya ada istilah Qunutan karena Salat Witir-nya disertai Doa Qunut. Makanya juga, ada istilah 'ngupat' karena di tanggal 15 sudah dimulai Salat Witir-nya dengan tambahan ada qunut," katanya saat dikonfirmasi secara terpisah.

Terlepas dari tradisi tersebut, para ulama juga mentradisikan Qunutan sebagai tanda bersyukur karena telah mampu melewati setengah waktu di Bulan Ramadan, termasuk menanamkan jiwa sosial dan rasa berbagi antar sesama.

Meski begitu, dia mengaku tidak mengetahui sejak kapan tradisi tersebut berlangsung. Namun, ia menduga Qunutan merupakan tradisi terdahulu yang tidak ditinggalkan dan dimasukkan nilai-nilai keislaman olah para wali yang menyebar agama Islam.

"Intinya dari tradisi ngupat di pertengahan bulan puasa, dalam rangka bersyukur karena kita sudah melewati setengah bulan berpuasa dan untuk mengingatkan bahwa ada tambahan Doa Qunut di akhir Salat Witir, serta untuk menanamkan jiwa sosial dan saling berbagi," imbuhnya.

Baca Juga: Menjaga Tradisi Mikraan di Masjid Kota Santri Saat Pandemi Corona

Meski saat ini pandemi Corona, namun acara riungan masih tetap berjalan. Tetapi, kata dia, tidak semua daerah di Banten termasuk Pandeglang masuk dalam zona merah penyebaran Covid-19, sehingga masih dimungkinkan melakukannya.

Tetapi, menurutnya yang terpenting, masyarakat tetap menjalankan anjuran pemerintah. Seperti jaga jarak aman dan rajin mencuci tangan. Bahkan, ia berharap lewat Qunutan tersebut masyarakat bisa terhindar dari paparan Covid-19.

"Tidak semua daerah di Banten kena zona merah, ada juga daerah yang zonanya masih hijau dan tetap masih melakukan riungan seperti ini dan mudah-mudahan ada qunutan seperti ini atau sodaqoh kupat mudah-mudahan dapat mencegah dan juga membentengi dari penyakit- penyakit khusus COVID-19. Tentunya kita tetap waspada,"ujarnya.

Siroj melanjutkan, keistimewaan Qunutan menggunakan kupat dianggap tidak cepat basi, karena ada kreativitas yang dibangun, termasuk juga rasa yang berbeda jika menggunakan bahan lain.

"Kenapa menggunakan daun kepala, agar tidak mudah basi, ada kreativitas, kalau dengan bahan lain mudah basi, jika menggunakan bahan lain rasa dan kesan ya juga berbeda. Kalau menggunakan plastik nggak ada bedanya dengan buras. Setiap pagi juga selain bulan puasa buras kan selalu ada," katanya.

Baca Juga: Tradisi Kajian Kitab Kuning Pesantren Salafi Banten saat Wabah Corona

Kontributor : Saepulloh

Load More