Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Rabu, 01 September 2021 | 22:06 WIB
Di Tugu Peristiwa Tjibaliung terletak di Kampung Dahu Satu, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti menunjukkan tokoh polisi pertama di Banten, yakni I. R. Joesoef Martadilaga.(BantenHits.com/ Engkos Kosasih)

SuaraBanten.id - Berdiri tegak hingga kekinian, inilah warisan dari masa pendudukan Belanda. Namanya Tugu Peristiwa Tjibaliung, berlokasi di Kampung Dahu Satu, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Dikutip dari BantenHits.com, jaringan dari SuaraBanten.id, warga di Pandeglang pun belum semuanya mengetahui peristiwa di balik berdirinya tugu ini.

Pemerintah Desa Cihanjuang dan masyarakat di sekitar tugu, menunjukkan kepedulian dengan rutin merawat keberadaan tugu itu. Mereka membuatkan gapura dan membangun jalan menuju tugu menggunakan paving block yang didanai Dana Desa.

Tugu Peristiwa Tjibaliung, diresmikan 25 September 1971 oleh Kadapol VIII Jawa Barat, Brigjen Pol Soegiri Soedibja, untuk memperingati jasa pahlawan di Banten yang gugur saat Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua ke Indonesia.

Baca Juga: Moeldoko Serahkan Bus MAB: Mobil Listrik Jawaban untuk Perubahan Lingkungan

"Tugu ini dibangun untuk memperingati Peristiwa 5 Oktober 1949 di Cibaliung," jelas Kepala Desa Cihanjuang, Adhadi kepada BantenHits.com sebagaimana dikutip Selasa (31/8/2021).

Saat Belanda melancarkan Agresi Militer pada Desember 1948, pihak ini berhasil menduduki Keresidenan Banten dan membentuk pemerintahan sipil baru yang diberi nama Territoriaal Bestuurs Adviseur (TBA), yang berpusat di Serang.

Namun sebelum Keresidenan Banten dikuasai Belanda, Residen Banten pertama Tubagus Achmad Chatib Al-Bantani, masuk ke pedalaman Banten Selatan dan membentuk pemerintahan sipil agar mengimbangi pemerintahan TBA bentukan Belanda.

Pada fase ini juga, Komandan Brigade Letkol Eri Soedewo beserta stafnya berpindah-pindah tempat ke pedalaman Banten untuk melakukan perjuangan gerilya mengingat persenjataan yang dimiliki TNI saat itu tidak seimbang dengan Belanda.

Pada Agustus 1949 Pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengakhiri gencatan senjata atau penghentian perang. Setelah gencatan senjata terealisasi oleh kedua belah pihak, terjadi perubahan brigade, Letkol Eri Soedewo ditarik ke pusat menjadi Kepala Staf Divisi Siliwangi.

Baca Juga: All-New MX-30 EV 2022, Mobil Listrik Perdana Mazda Tampil Tahun Ini

Saat itu, Banten terdiri dari tiga Komado Distrik Militer (KDM), yakni KDM I Serang pimpinan Kapten Ali Amangku, KDM II Pandeglang pimpinan Kapten E. A. Sumardja Adidjaja dan KDM III Lebak, pimpinan Kapten Sholeh Iskandar.

Pejabat Penting Banten Terbunuh di Tjibaliung

Pemerintah Banten dan masyarakat bergotong royong memperbaiki sarana yang rusak akibat perang. Sekitar 400 orang Laskar Bambu Runcing (BR) pimpinan Khaerul Shaleh pada Oktober 1949, bergerak dari Bogor menuju Banten Selatan tepatnya Cibaliung.

Perjalanan para pengikut Tan Malaka itu melalui jalur Malingping, Lebak Selatan, untuk menghindari pasukan Belanda dan TNI, mereka berupaya menguasai Cibaliung, yang secara administratif berbentuk kawedanan.

Di wilayah itu, gerombolan mulai melakukan aksinya. Mereka melakukan penawanan selama satu hari terhadap Wakil Residen Banten Ahmad Fathoni, Kepala Polisi Wilayah (Kapolwil) Keresidenan Banten, Komisiaris Tingkat I, Joesoef Martadilaga dan Kapten TNI, Moechtar Tresna.

Setelah ditawan, ketiga orang itu kemudian dibunuh di daerah Kampung Dahu Satu, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cibaliung dan ketiga jenazahnya dimasukkan ke dalam satu lubang yang sekarang menjadi Tugu Peringatan Pahlawan.

Load More