Scroll untuk membaca artikel
Hairul Alwan
Kamis, 29 Juli 2021 | 08:14 WIB
Massa aksi warga berunjuk rasa menuntut mafia tanah 45 hektare diadili seberat-beratnya, Rabu (29/7/2021) [Suara.com/Muhammad Jehan Nurhakim]

SuaraBanten.id - Seruan Hakim tangan Tuhan bukan tangan setan bergema saat sidang lanjutan kasus mafia tanah 45 hektare. Warga meminta oknum mafia tanah 45 hektare dihukum seberat-beratnya.

Selain seruan itu, masa aksi juga mengaitkan Hakim yang jujur dengan Pandemi Covid-19. "Hakim yang jujur dan adil bebas Corona," tulis masa aksi di karton.

Dalam sidang lanjutan mafia tanah 45 hektare, Rabu (28/7/2021) itu sebanyak dua saksi kembali dihadirkan dalam sidang lanjutan dugaan mafia tanah 45 hektare di Kelurahan Kunciran Jaya dan Kelurahan Cipete, Kecamatan Pinang.

Sidang yang digelar secara tatap muka dan virtual. Sidang ini dipimpin hakim ketua Nelson Panjaitan ini dihadiri belasan warga korban pencaplokan tanah, kuasa hukum terdakwa. Sedangkan terdakwa Darmawan (48) dan Mustafa Camal Pasha (61) menghadiri secara virtual.

Baca Juga: Ancam Gorok Leher Mahfud MD, Pria Ini Divonis 16 Bulan Penjara dan Denda Rp250 Juta

Saat proses persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri atau Kejari Kota Tangerang mengahdirkan dua saksi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kedua saksi itu yakni, Edy Dwi Daryono yang menjabat sebagai Kepala Seksie Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Kota Tangerang.

Kemudian, pensiunan yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pengumpulan dan Pendaftaran Tanah untuk BPN Kota Tangerang pada periode 1994-1997, Liking Sudrajat. Liking Sudrajat ini merupakan orang yang tanda tangannya dipalsukan dalam sertifikat Hak guna Bangunan 1-9.

Dalam persidangan kedua saksi dicecar banyak pertanyaan mengenai kasus tersebut. Diantaranya terkait hubungan para saksi dengan terdakwa, hingga pengetahuan saksi soal status lahan.

"Saksi Liking Sudrajat dan Edy Dwi Daryono apakah bapak bedua kenal dengan terdakwa yang ada dilayar ini (Darmawan dan Mustafa Camal) ?," tanya Hakim Ketua, Nelson Panjaitan kepada para saksi

"Tidak kenal," jawab para saksi kompak.

Baca Juga: Parah! Dua Hiburan Malam di JLS Buka Saat PPKM, Kelabuhi Petugas Pintu Utama Digembok

Kemudian, Nelson bertanya tentang hubungan terdakwa kepada para saksi.

"Apakah bapak-bapak punya hubungan dengan mereka ? Keluarga atau teman atau rekan kerja," tanya Nelson.

"Tidak ada," jawab para saksi.

Nelson lalu bertanya kepada saksi Liking soal status di BPN berserta tugasnya. Kemudian, Liking mengatakan dirinya bertugas di BPN Kota Tangerang periode 1994-1997 sebagai Kepala Seksi Pengumpulan dan Pendaftaran Tanah.

"Pengukuran, permohonan hak, pembuatan sertifikat hingga keluar sertifikat. Membantu kepala kantor untuk administratif," kata Liking menjelaskan tugasnya di BPN.

Liking mengungkapkan kalau banyak terjadi kejanggalan yang terdapat pada sertifikat HGB 1-9. Mulai dari tanda tangan kepala BPN hingga gambar situasi atau peta wilayah yang dipalsukan.

Dalam sertifikat tersebut ditandatangani oleh Kepala BPN Kota Tangerang dengan nama Liking Sudrajat yang langsung dibantah olehnya.

Liking memastikan tanda tangan yang dibubuhkan bukan tanda tangannya. Pasalnya, selama ini dia tidak pernah menjabat sebagai Kepala BPN.

"Mulai tanda tangan saya, karena saya gak pernah jadi kepala kantor BPN. Pada saat itu (1994-1997) kepala BPN-nya pak Imroni," ungkapnya.

Dalam keterangan HGB 1-9 itu keluar berdasarkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (SK KINAG) tahun 1964 saat Banten masih menjadi bagian Provinsi Jawa Barat. Menurut Liking, KINAG tidak pernah memberikan HGB kepada siapapun. Kecuali kepada masyarakat dalam rangka retribusi.

"Hanya ke masyarakat dalam rangka retribusi dan tidak sampai puluhan hektar. 1 sampai 9 itu (sertifikat) 5 hektar semua. Kinag tidak pernah mengeluarkan untuk tanah pertanian seluas 5 hektar paling luas hanya 2 hektar saja. Terus disana juga ditulisnya Kinang," jelas Liking.

Liking juga meyakinkan kalau gambar situasi yang terdapat di HGB tersebut palsu. Karena bila dikeluarkan pada 1964 peta dibuat secara manual. Sedangkan peta yang ada itu dibuat menggunakan komputer.

"Itu gak bener (gambar situasi) tahun segitu gak ada komputer. Dulu manual pak. Tulisannya tangannya juga khusus, ini kan dibuat pake komputer secara kasat mata juga jelas," tutur Liking kepada Majelis Hakim.

Kata Liking BPN juga tidak pernah mengeluarkan sertifikat fotocopy yang dilegalisir. Yang ada yakni SKPT atau surat keterangan pendaftaran tanah.

"Itu juga legalisir dipalsukan. BPN tidak pernah mengeluarkan legalisir, yang ada SKPT dan itu juga hanya 3," katanya.

Dalam sertifikat itu juga disebutkan nama Sujodi Mejo yang menjabat sebagai kepala BPN. Menurut Liking, tidak ada nama Sujodi Mejo sebagai kepala BPN.

"Tidak ada kepala kantor yang namanya sujodi mejo Hasil pengecekan pada tahun 1964," ungkapnya.

Liking juga sudah mengecek keaslian sertifikat tersebut. Dia menyimpulkan kalau itu palsu. Selain itu pun tidak terdaftar di BPN.

"Terkait dengan surat ini memang disini ditulis terdaftar tapi pada kenyataannya di Kanwil jawab tidak terdaftar. Itu jelas bodong. Banyak kejanggalannya," katanya.

Kemudian, Nelson bertanya kepada Edy terkait apa saja yang ingin dia sampaikan pada sidang ini. Edy pun menjelaskan hal senada dengan Liking.

"Terkait dengan kunciran tidak terdaftar di BPN, kalo dilihat dari pembuktian ini ini bukan sertifikat. Sertifikat itu dalam lampiran. Setelah saya cek, dari bukti HGB itu tidak terdapat di BPN kota Tangerang. Sertifikat adalah salinanan dari buku tanah," jelas Edy.

Sidang yang dimulai pukul 13.00 WIB ini pun berakhir setelah kedua saksi menyatakan cukup memberikan keterangannya. Sidang akan kembali dilanjutkan Senin (2/08/2021) mendatang dengan agenda mendengarkan saksi ahli.

Salah satu warga Minarto mengaku puas dengan semua keterangan yang diberikan oleh para saksi ini. Kata dia saksi memberikan keterangan tepat menurut pengetahuan mereka.

"Artinya dalam keterangan mereka tidak berpihak kemanapun. Sudah jelas kan kalau mafia tanah ini bersalah karena bukti sudah jelas. Saya berharap mereka dihukum seberat-beratnya," pungkasnya.

Kontributor : Muhammad Jehan Nurhakim

Load More