Scroll untuk membaca artikel
Hairul Alwan
Selasa, 20 April 2021 | 05:57 WIB
Hendi Suhartono [Ist]

SuaraBanten.id - Seorang mantan terpidana teroris (Napiter), Hendi Suhartono mengaku tak mempan saat dipengaruhi paham-paham radikal melalui doktrin. Namun, ia membeberakan dirinya terpapar radikalisme dari video-video pembantaian umat Muslim di Palestina.

Pernyataan itu diungkapkan Hendi Suhartono video unggahan berjudul 'Blusukan ke Markas di Sentul Bogor | AFU FT Eks Narapidana Terorisme' yang diunggah di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Senin (19/4/2021).

Diketahui, Hendi Suhartono dipenjara lantaran terlibat dalam 'Teror Bom Buku' di Utan Kayu, Jakarta Timur 2011 lalu.

Hendi Suhartono mengungkapkan, serangkaian peristiwa teror kepada beberapa tokoh dari berbagai latar belakang dengan mengirimkan paket buku berisi bom.

Baca Juga: Ali Imron Sebut Paham Terorisme Menjamur: Jihadis Pantang Menyerah

Saat wawancaranya bersama Akbar Faizal, Hendi Suhartono mengaku awalnya menceritakan para pelaku bom buku tidak terlibat dengan jaringan terorisme manapun.

Ia memastikan bahan-bahan yang dipergunakan dalam membuat bom pun adalah bahan-bahan seadanya saja.

"Kami itu memang tidak ada bakat, tapi yang ada cuman nekat. Kami belajar bom itu dari internet. Nah, yang menguasai peracikan itu kan kawan saya yang masih di Pondok Rajeg, Pepi Fernando dan saya membantu dengan rekan-rekan. Dan memang tidak terlibat dengan jaringan lain sehingga bahan-bahan yang kami gunakan (adalah) bahan-bahan apa adanya, ya seperti petasan, karbit," kata Hendi.

Hendi pun akhirnya divonis 12 tahun dan menjalani masa tahanan selama 7 tahun. Ia menjalani masa tahanannya itu di Nusakambangan.

Ketika ditanya Akbar Faizal soal bagaimana Hendi mulai mengalami proses deradikalisasi, ia mengatakan bahwa proses itu berawal saat ia dipenjara.

Baca Juga: Geger Buku Teror Intelijen Ditemukan di Gereja BPIB Effatha, Ibadah Buyar

"Waktu itu kan, semua mungkin tahu Pak yah, ada baiat ISIS di sana (Nusakambangan). Nah, saya salah satu orang yang tidak ikut berbaiat dengan ISIS karena saya melihat ada kejanggalan di sana. Kenapa? Saya mempelajari atau membaca sejarah Rasulullah aja membangun umat itu perlahan. Tapi ISIS ini kan, lahir langsung besar. Ada pertangaan besar di sana bagi saya, kok bisa lahir langsung besar? Jangan-jangan ini ada apa-apanya," ungkap Hendi.

Ketika menolak ikut baiat, ia pun dicap kafir oleh para napiter lain yang ikut baiat. Maka, ia pun mulai mengkaji adan mengubah pola pikirnya terkait jihad.

"Setelah saya kaji lagi, kaji lagi, kaji lagi, ternyata bukan jihadnya yang salah. Kalau jihad salah, mungkin pendiri NU, KH Hasyim Asyari tidak akan mengeluarkan resolusi jihad. Tapi yang salah itu waktu dan tempatnya, Pak. Waktunya kurang tepat, waktunya juga tidak tepat. Juga bukan ayat-ayat Al-quran yang salah. Kalau ayat-ayat Al-quaran yang salah, mungkin semua ulama sedunia akan mengadakan pertemuan untuk merevisi. Tapi kan yang salah itu pemahamannya, penafsirannya," jelasnya.

Ketika Faizal Akbar menyinggung soal awal mula para teroris dapat terpapar radikalisme, Hendi mengatakan bahwa pengalamannya sendiri cukup unik.

"Bahkan kalau saya lebih unik, lewat diskusi, lewat pertemuan, lewat doktrin, saya nggak terkena gitu, enggak terpapar. Tapi lewat video. Video dari pembantain umat muslim di Palestina. Di situ mulai merasa marah," ujarnya.

Dilansir dari Terkini.id, Hendi merupakan lulusan jurusan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bekerja di Percetakan Sablon di Batupapak pada pada tahun ia terlibat radikalisme.

Kini, setelah keluar dari penjara, ia menjadi salah satu pengurus Hubbul Wathon Indonesia 19.

Load More