Scroll untuk membaca artikel
M Nurhadi
Rabu, 26 Agustus 2020 | 13:25 WIB
Suasana sidang kasus vandalisme di Pengadilan Negeri Tangerang. Ketika terdakwa Riski Rijanto, Rio, dan Rizki (pojok) tengah mendengarkan pembelaan dari saksi ahli. [Suara.com/Irfan]

SuaraBanten.id - Persidangan ketiga terdakwa kasus vandalisme oleh kelompok Anarko Sindikalis terus berlanjut.

Dua orang saksi ahli  yakni Ahmad Sofyan sebagai saksi Pidana dan Haris Azhar sebagai saksi ahli Hak Asasi Manusia (HAM) turut dihadirkan pada Selasa (25/8/2020).

Tiga terdakwa yakni Riski Rijanto, Rio, dan Rizki disangkakan pasal 14 dan atau pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 160 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara.

Meski demikian, Ahmad Sofyan menyebut, penggunaan pasal 160 KUHP tidak serta merta dapat digunakan terhadap orang yang menghasut penguasa.

Baca Juga: Deklarasi KAMI Untuk Kritik Rezim, Rocky Gerung Justru Ajak Jokowi Gabung

Alasannya, lantaran penghasutan bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh penguasa. 

"Karena kalau menghasut saja dipidana akan sangat dipengaruhi oleh rezim. Rezim bisa menafsirkan kritik sebagai penghasutan," ujarnya kepada Suara.com.

Ia juga menjelaskan, berkaitan dengan penghasutan dapat merujuk pada putusan MK nomor 7 tahun 2009 yang menyatakan pasal 160 KUHP harus ditafsirkan sebagai delik materil.

Sehingga, menurutnya, penghasutan tidak dapat dijadikan delik jika tidak timbul kekacauan atau gangguan keamanan dalam lingkup tertentu.

"Dan gangguan keamanan itu harus dibuktikan bahwa akibat dari ucapan itu. Kalau ucapan itu tidak menimbulkan akibat bisa jadi kekacauan itu akibat dari perbuatan yang lain," terangnya. 

Baca Juga: Teror di Masjid Toronto Berlanjut, Kaum Muslim Minta Polisi Bertindak

Sedangkan penggunaan pasal 14 ayat 2 dan atau pasal 15 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 juga mengindikasikan hal serupa. Meskipun, lanjut Ahmad, pasal tersebut sangat riskan karena dianggap uzur.

"Undang-undangnya itu juga digunakan untuk mengatasi kekacauan saat Belanda menguasai Indonesia. Sebetulnya itu pasal-pasal kolonial jadi tidak tepat lagi digunakan untuk alam demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat," jelasnya. 

Ahmad juga menyebutkan, penggunaan pasal tersebut juga harus menggunakan takaran ilmu pengetahuan yang mumpuni sehingga terhindar dari unsur subjektifitas.

"Karena ilmu pengetahuan yang bisa menyatakan patut diduga itu bukan menerka-nerka," terangnya. 

Saksi ahli lainnya, Hariz Azhar menilai, kasus tersebut tidak berkaitan dengan yang disangkakakn terhadap terdakwa. Menurutnya, yang dilakukan terdakwa merupakan bentuk ekspresi. 

"Karena kasus individual, kalau menurut saya kasus ini harus diputus bebas," tegasnya. 

Kontributor : Irfan Maulana

Load More