Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Sabtu, 09 Mei 2020 | 04:00 WIB
Warga saat melaksanakan riungan Kupat qunutan sebelum dibagikan kepada warga lain. [Suara.com/Saepulloh]

SuaraBanten.id - Bagi masyarakat Banten, Tradisi Qunutan merupakan budaya yang ada di kala Ramadan tiba, termasuk juga di Pandeglang. Menariknya dalam tradisi ini, warga juga membuat sajian kuliner berupa kupat dari janur atau daun kelapa yang biasanya disandingkan dengan lauk pauknya. Tak heran jika kemudian tradisi ini juga disebut Kupat Qunutan.

Biasanya masyarakat membuat ketupat tersebut lengkap dengan sajian opor ayam atau sayur kulit tangkil dan sambal.

Ada dua macam ketupat yang biasa dibuat oleh masyarakat yakni, ketupat dari bahan dasar beras nasi dan Leuput ketan bentuknya pajang yang diikat dengan bambu.

Bagi masyarakat Pandeglang, tradisi ini juga dijadikan media berbagi Kupat Qunutan antar sanak keluarga. Pun kupat yang sudah matang dibawa ke musala atau masjid untuk melakukan riungan dengan dilanjutkan doa bersama. Biasanya, tradisi ini dilaksanakan selepas Salat Tarawih.

Baca Juga: Menjaga Tradisi Mikraan di Masjid Kota Santri Saat Pandemi Corona

Kupat yang dibawa warga kemudian akan dibagikan kembali secara merata. Seperti yang dilakukan di Musala Al-Ikhlas di Kampung Sehat, Desa Babakanlor, Kecamatan Cikedal.

Tokoh masyarakat setempat Rais mengungkapkan, masyarakat setempat sudah rutin menggelar riungan kupat setelah memasuki pertengahan bulan ramadan. Riungan Kupat Qunutan juga menandakan masuknya malam Lailatul Qadar atau malam penting bagi umat Islam di Bulan Ramadan.

"Ini rutin dilakukan setiap pertengahan bulan Ramadan yang ditandai dengan riungan kupat, termasuk telah memasuki malam Lailatul Qadar," ungkap Rais kepada Suara.com, Jumat (8/5/2020).

Tak hanya itu, qunutan juga menandakan perpindahan bacaan surat Surah At-Takasur ke surah Al-Qadr, pada Salat Tarwaih. Surat Al-Qadr menjadi bacaan pertama dan At-Takasur menjadi bacaan kedua dalam Salat Tarawih. Rais juga menjelaskan setelah Qunutan, umat Islam sudah dibolehkan menunaikan Zakat Fitrah.

"Qunutan juga menandakan pindah bacaan surat tarawih dimana surat al-qodr menjadi bacaan pertama dan at-takasur menjadi bacaan kedua dalam tarawih. Termasuk juga dari sekarang sudah bisa melaksanakan zakat fitrah,"jelasnya.

Baca Juga: Tradisi Kajian Kitab Kuning Pesantren Salafi Banten saat Wabah Corona

Sementara, Pimpinan Pondok Huffadz Manbaul Quran (PHMQ) Sukahati Kecamatan Labuan Ustaz Sirojuddin mengungkapkan, Tradisi Qunutan biasa dilaksanakan pada tanggal 15 Ramadan atau separuh Bulan Puasa. Hal itu untuk mengingatkan, bahwa malam selanjutnya dalam Salat Witir akan disertai Doa Qunut.

"Makanya ada istilah Qunutan karena Salat Witir-nya disertai Doa Qunut. Makanya juga, ada istilah 'ngupat' karena di tanggal 15 sudah dimulai Salat Witir-nya dengan tambahan ada qunut," katanya saat dikonfirmasi secara terpisah.

Terlepas dari tradisi tersebut, para ulama juga mentradisikan Qunutan sebagai tanda bersyukur karena telah mampu melewati setengah waktu di Bulan Ramadan, termasuk menanamkan jiwa sosial dan rasa berbagi antar sesama.

Meski begitu, dia mengaku tidak mengetahui sejak kapan tradisi tersebut berlangsung. Namun, ia menduga Qunutan merupakan tradisi terdahulu yang tidak ditinggalkan dan dimasukkan nilai-nilai keislaman olah para wali yang menyebar agama Islam.

"Intinya dari tradisi ngupat di pertengahan bulan puasa, dalam rangka bersyukur karena kita sudah melewati setengah bulan berpuasa dan untuk mengingatkan bahwa ada tambahan Doa Qunut di akhir Salat Witir, serta untuk menanamkan jiwa sosial dan saling berbagi," imbuhnya.

Meski saat ini pandemi Corona, namun acara riungan masih tetap berjalan. Tetapi, kata dia, tidak semua daerah di Banten termasuk Pandeglang masuk dalam zona merah penyebaran Covid-19, sehingga masih dimungkinkan melakukannya.

Tetapi, menurutnya yang terpenting, masyarakat tetap menjalankan anjuran pemerintah. Seperti jaga jarak aman dan rajin mencuci tangan. Bahkan, ia berharap lewat Qunutan tersebut masyarakat bisa terhindar dari paparan Covid-19.

"Tidak semua daerah di Banten kena zona merah, ada juga daerah yang zonanya masih hijau dan tetap masih melakukan riungan seperti ini dan mudah-mudahan ada qunutan seperti ini atau sodaqoh kupat mudah-mudahan dapat mencegah dan juga membentengi dari penyakit- penyakit khusus COVID-19. Tentunya kita tetap waspada,"ujarnya.

Siroj melanjutkan, keistimewaan Qunutan menggunakan kupat dianggap tidak cepat basi, karena ada kreativitas yang dibangun, termasuk juga rasa yang berbeda jika menggunakan bahan lain.

"Kenapa menggunakan daun kepala, agar tidak mudah basi, ada kreativitas, kalau dengan bahan lain mudah basi, jika menggunakan bahan lain rasa dan kesan ya juga berbeda. Kalau menggunakan plastik nggak ada bedanya dengan buras. Setiap pagi juga selain bulan puasa buras kan selalu ada," katanya.

Kontributor : Saepulloh

Load More