Scroll untuk membaca artikel
Bangun Santoso
Minggu, 22 Desember 2019 | 13:27 WIB
Suasana Huntara korban tsunami Banten. (Suara.com/Saepulloh)

"Orang-orang itu pada lari, tapi saya lari melawan ombak menuju ke rumah untuk menolong istri dan anak. Setelah sampai lokasi, rumah saya sudah tak ada. Setelah mencari anak istri. Ternyata di dalam puing-puing reruntuhan. Bahkan istri itu tak sadar, kalau tak ketemu Siti, mungkin istri saya tak ketemu," kenang Riyadi.

Keluarga Riyadi masih bernasib baik tak seperti ratusan korban tsunami yang tewas. Ia, istri dan anak perempuannya hanya mengalami luka-luka dan mendapatkan pertolongan setelah dibawa ke salah satu klinik di Kecamatan Menes.

"Kalau luka banyak, di kaki dan perut. Kalau Siti badannya biru karena terbentur kayu, kepalanya bolong. Saya larikan ke setiap rumah sakit penuh. Saya dapat bantuan rumah sakit itu pertama di Diva sekitar jam dua malam," kata Riyadi.

Setelah mendapatkan penanganan medis ia sempat kebingungan untuk mencari tempat tinggal, hingga ia mengungsi di rumah warga kurang dari tiga bulan, sembari menunggu Huntara yang dibuatkan pemerintah rampung.

Baca Juga: Trauma Tsunami Banten, Ifan Seventeen Masih Takut Dengar Sirine Ambulans

Menurutnya, tak ada pilihan selain tinggal di Huntara. Karena selain tidak punya tempat tinggal, juga mengikuti saran dari pemerintah supaya tidak tinggal di daerah zona merah bencana.

Para korban tsunami yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan beralih profesi karena alat tangkap mereka hancur. Selama itu pula, perekonomian mereka belum pulih total.

"Makanya selama satu tahun ini, di bilang enak, ya gak enak. Gak enaknya karena kita gak punya tempat tinggal dan perekonomian belum stabil," katanya.

"Kalau betahnya tinggal di Huntara karena keadaan, kita harus ke mana lagi, karena kita gak ada tempat lagi. Yang terpaksa kita harus mengikuti untuk tinggal di sini,"imbuhnya.

Cerita manis dan pahit pun telah mereka rasa selama hampir setahun tinggal di Huntara. Bahkan, cerita horor pun mewarnai kisah mereka selama di Huntara, lantaran kerap mendengar suara kuntilanak dan melihat mahluk halus.

Baca Juga: Tinggi Air Laut Tak Signifikan, BMKG Belum Cabut Peringatan Tsunami Banten

"Kejadiannya udah lama, seperti cerita horor. Ya kaya begitu (ada suara kuntilanak) kadang-kadang suka lihat (mahluk halus). Biasa saja gak ada yang takut, kita sadar saja karena beda alam, mungkin yang kita tempati ini tempat mereka dulunya," ungkapnya.

Load More