Scroll untuk membaca artikel
Reza Gunadha
Senin, 12 Agustus 2019 | 21:30 WIB
Ilustrasi

SuaraBanten.id - Maryati, tenaga kerja perempuan berusia 32 tahun asal Kampung Cerocoh, Desa Domas, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten, mendapat perlakuan tidak manusiawi di negeri Mesir.

Dia dipekerjakan selama 22 jam tanpa ada jam istirahat. Yang lebih memilukan, Maryati hanya diberi makan satu kali dalam sehari. Itu pun hanya berupa mi instan produk Indonesia.

Kabar memilukan yang dialami penyumbang devisa untuk negara ini disampaikan Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Maftuh Hafi Salim.

Menurut Maftuh, perlakuan tidak menyenangkan ini diungkapkan langsung oleh Maryati melalui telepon genggam kepada pihak keluarga yang mengeluhkan saat bekerja di Mesir.

Baca Juga: Bantu TKW Baru yang Bingung Naik Pesawat, Profesor Ini Dapat 'Surat Cinta'

Setelah mengetahui cerita Maryati, pihak keluarga mendatangi kantor SBMI dan menceritakan nasib yang dialami Maryati.

Hampir setiap hari, lanjut Maftuh, keluarga Maryati mendatangi kantor SBMI Banten dan meminta agar peristiwa yang dialami Maryati diproses secara hukum.

“Kami dapat informasi, Maryati menghubungi keluarga, keluarga menghubungi Maryati. Ibunya langsung cerita ke (SBMI) dan ibunya pun hampir setiap hari mendatangi kantor (SBMI). Hampir setiap hari dia duduk di teras kami sekarang juga ada, minta di proses secara hukum malah,” kata Maftuh saat dihubungi BantenHits.com—jaringan Suara.com, Senin (12/8/2019).

“Maryati ini diperlakukan secara tidak manusiawi dia diberi makan dalam sehari hanya satu kali mi instan. Dipekerjakan 22 jam tanpa istirahat, kondisi Maryati saat ini sakit,” tambahnya.

Kondisinya Kurus dan Sakit

Baca Juga: Istri Jadi TKW, Seorang Ayah di Sukabumi Tega Setubuhi Anaknya

Maftuh menungkapkan, Maryati sejak delapan bulan terkahir ini sedang sakit dengan kondisi badan sudah sangat kurus.

Selain perlakuan tak manusiawi, kondisi Maryati sebelum diberangkatkan dalam kondisi menderita penyakit kuning.

“Karena saat ditempatkan di negara tersebut Maryati memang punya penyakit. Kan sudah kesalahan. Kalau menurut dari keluarganya, Maryati punya penyakit. Dia punya penyakit kuning, dia sudah delapan bulan di Mesir,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, proses keberangkatan Maryati sebagai TKW ke Mesir pun sudah bermasalah. Pasalnya, dia berangkat dengan jalur non prosedural tanpa agensi resmi.

“Jadi Maryati ini ditempatkan di Mesir dengan proses non prosedural tanpa dilakukannya medical chekup,” jelasnya.

Menurut Muftah keberangkatan Maryati dilakukan oleh beberapa orang pekerja lapangan (PL), di antaranya berinisial H sebagai pencari pekerja yang berminat bekerja di luar negeri. Setelah mendapatkan orang yang berminat, agen lainnya D menyerahkan ke sponsor berinisial M, hingga tahap akhirnya untuk pemberangkatan ke mesir dilakukan MH.

Maftuh mendesak, pihak yang memberangkatkan Maryati harus bertanggungjawab supaya Maryati mendapatkan perlindungan.

SBMI Banten sejauh ini sudah melakukan upaya komunikasi baik ke pihak yang memberangkatkan ataupun ke instansi pemerintah untuk membantu memulangkan Maryati.

“Kenapa sampai  saya mengeluarkan surat somasi untuk tindak lanjut ke ranah hukum. Ini tanggung jawab M ini gak ada sama sekali. Bahkan M ini mencaci kami. Sebagai petugas kami sudah melayangkan surat. Pertama kali surat panggilan ada laporan. Yang kedua kami juga memberitahukan klarifikasi tetapi tidak digubris. Dan yang terakhir kali kita berikan surat somasi karena memang tidak koorperatif kemungkinan tanggal 15 Agustus 2019 kasus ini akan saya angkat ke ranah hukum ke Polda Banten atau ke Mabes Polri,” jelasnya.

“Kami sudah menyurati KBRI, Kementerian dan semua instansi yang ada di Indonesia termasuk KBRI Mesir sudah kita surati tapi belum ada balasan.”

Load More