Scroll untuk membaca artikel
Dwi Bowo Raharjo | Novian Ardiansyah
Senin, 23 November 2020 | 13:27 WIB
Kota Pekanbaru mulai melaksanakan sekolah tatap muka, Senin (16/11/2020). [Foto Riauonline]

SuaraBanten.id - Sejumlah pihak menolak terkait rencana pembukaan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka. Mereka yang menolak diantaranya pehimpunan maupun serikat guru.

Terkait itu, anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira meminta Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) tak menjadi polemik.

Andreas mengatakan pembukaan sekolah atau tidak keputusannya adasekolah dan orang tua atau wali murid. Terlebih panduannya pun sudah dibuat sehingga ia meminta tidak perlu diributkan.

"Tidak perlu dipolemikan, ikuti saja panduan SKB empat menteri soal pelaksanaan pendidikan tatap muka. Dalam panduan SKB empat menteri tersebut toh keputusan pelaksanaan tatap muka atau tidak terletak pada sekolah dan oraang tua murid," kata Andreas kepada Suara.com, Senin (23/11/2020).

Baca Juga: Soal Masuk Sekolah Januari, KPAI Tuding Pemerintah Lepas Tanggung Jawab

Andreas memandang keberadaan panduan dari empat menteri dirasa sudah cukup untuk menjamin keamanan dalam KBM tatap muka. Pasalnya, kata dia, panduan tersebut memberikan ruang pengambilan keputusan untuk eksekusi pada unit terkecil, yaitu sekolah. Tentu dengan rekomendasi dari kepala daerah dan satgas kabupaten/kota sebagai penanggung jawab penanggulagan dan pencegahan Covid-19 serta pengawas pelaksanaan protokol kesehatan.

"Menurut saya, SKB empat menteri tersebut sudah cukup jelas. Karena Indonesia ini sangat luas, kondisi infeksi Covid berbeda-beda di tiap daerah. Bisa dibayangkan, kalau suatu daerah di pedalaman Papua atau di pegunungan Flores yang susah signal, namun disana tidak ada kasus Covid, kemudian diharuskan PJJ, lantas apa yang mau dilakukan," kata Andreas.

Guru Menolak Sekolah Tatap Muka

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai pemerintah pusat sudah lepas tangan dengan memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah dalam kebijakan pembukaan sekolah pada Januari 2021.

Wakil Sekjen FSGI Mansur mengatakan, pemerintah pusat tidak bisa menyerahkan tanggung jawab pembukaan sekolah sepenuhnya kepada pemerintah daerah, sebab sejauh ini di zona kuning dan hijau corona saja sudah banyak pelanggaran protokol di sekolah yang luput dari sanksi.

Baca Juga: Izin Buka Sekolah Diserahkan ke Pemda, FSGI: Pusat Lepas Tangan

"Pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan. Jika keputusan buka sekolah dilepaskan begitu saja kepada Pemda, lalu siapa yang mengontrol atau bertanggung jawab. Mengingat banyak sekali temuan ketika FSGI ikut bersama tim KPAI melakukan pantauan langsung di sekolah sekolah secara sampling," kata Mansur, Senin (23/11/2020).

Dalam temuannya, FSGI melihat protokol kesehatan di lingkungan sekolah memang kebanyakan sudah terpenuhi, namun protokol di luar gerbang sekolah misalnya saat berangkat dan pulang sekolah belum terpenuhi, padahal itu termasuk dalam syarat pembukaan sekolah.

Mansur menegaskan, FSGI sebenarnya mendukung kebijakan buka sekolah tergantung kesiapan sekolah bukan lagi zona resiko COVID-19, namun implementasinya harus ditegakkan.

Pemerintah diminta menyediakan satuan tugas khusus, atau mekanisme pengontrolan khusus atau memberdayakan Satgas Covid untuk memantau implementasi dari kebijakan ini.

"Jika tidak maka pelanggaran demi pelanggaran seperti terjadi pada SKB 4 Menteri sebelumnya akan lebih mudah terjadi, dan akhirnya siswa dan guru yang akan menjadi korban," tegasnya.

Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk membuka kembali kegiatan belajar mengajar tatap muka per Januari 2021 tanpa mempertimbangkan zona resiko penularan covid-19 lagi.

Pemerintah pusat memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah bersama sekolah dan orang tua murid untuk mempersiapkan diri membuka sekolah.

Kebijakan ini dilakukan untuk menyelamatkan anak Indonesia dari ketertinggalan pelajaran karena berbagai masalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti kondisi mental pelajar maupun tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga.

PJJ yang sudah berjalan sembilan bulan dinilai tidak efektif karena minimnya sarana prasarana pendukung seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata, terutama di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Keputusan ini diketok oleh empat menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Fachrul Razi, dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, serta direstui oleh Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Load More